Idelando-Malang, Kota kenangan yang menjadi tempat hati dan kenangan setiap orang. Salah satunya dia, Dhafian Sekala. sebuah nama yang indah, Dhafian atau yang biasa dipanggil Dhafi merupakan sosok laki-laki yang punya seribu satu mimpi dan salah satu mimpi Dhafi yang sering aku ingat adalah pergi ke gurun pasir, jika ditanya alasannya kenapa Dhafi akan selalu menjawab “Malang dingin aku gak suka Sya”.

Aku mengenal Dhafi adalah sebuah kejutan dari Tuhan yang bahwa tanpa aku sadari akan mengubah separuh dari hidupku. Dahulu ketika kami masih bersama, kami sering kali menelusuri setiap inci kota ini bersama-sama, tapi itu semua telah menjadi angan yang tak tahu akan terwujud lagi kapan. Banyak cerita senang, sedih dan perasaan lain yang sulit untuk diungkapkan, tetapi itu semua telah menjadi pelajaran manis bahwa yang perlu diingat lebih baik menikmati keindahan bulan dari jauh.

Awal pertama kali aku mengenal Dhafi kala itu aku tengah membaca sebuah buku berjudul “3726 mdpl” namun tiba tiba.

“Tidak bisa dimiliki," ucap sosok pria berbadan tinggi menjulang yang jika diukur tingginya mungkin 180 cm. “Apanya yang tidak bisa dimiliki,” tanyaku sembari meletakkan buku bacaanku. “Tidak ada, aku hanya sedang merangkai kata-kata,” jawab pria itu sembari duduk dihadapanku.

“Kamu Asya kan, Anindita Asya, Fakultas Ilmu Kesehatan angkatan 23, gue Dhafi, Dhafian Sekala, teknik elektro angkatan 22”. Aku bingung sekali bagaimana dia bisa tahu namaku, sedangkan aku hanyalah mahasiswi kupu-kupu atau biasa orang-orang bilang mahasiswa kuliah pulang saja, yang tidak aktif berorganisasi ataupun bersosialisasi. “Kamu penguntit ya?” ucapku dengan spontan, bagaimana dia bisa tau namaku, sedangkan dapat aku pastikan kami tidak pernah ada interaksi atau bahkan pernah bertemu sekalipun. Alih-alih menjawab pertanyaanku Dhafin lebih memilih untuk hanya sekedar tertawa dan duduk di depanku.

Sejak pertemuan kami kala itu, kami menjadi lebih mengenal satu sama lain. Dhafi sering kali membantuku mengerjakan tugas kampus, bahkan seringkali Dhafi mengajakku mengelilingi kota Malang bersama. Jika ditanya sudut jalan kota Malang mana yang belum pernah kami lewati, mungkin dapat kami pastikan tidak ada. Baik aku, maupun Dhafi. Kami sering kali mengeluh satu sama lain dan dapat aku akui bahwa Dhafi adalah sosok lelaki yang dapat memahamiku, hingga puncaknya keluarga Dhafi mengenalku, ya bisa ditebak bukan, siapa orang yang memaksaku bertemu keluarga Dhafi, dengan dalil jika aku mau maka Dhafi akan mentraktirku. Tak heran banyak orang berkata kami adalah pasangan, tapi aku hanya menganggap omongan mereka hanyalah angin lalu-lalang saja, karena sejak awal mengenal Dhafi aku hanya menganggap Dhafi adalah sosok teman, tidak lebih.

“Gue suka Asya, gimana caranya ngungkapin perasaan yang gue rasain selama ini ke dia Rum, gue takut Asya gak nyaman, lo tau sendiri kan gue sesuka apa ke Asha, ngeliat Asha seneng aja gue ikut ikut seneng apalagi kalo gue bisa jadi salah satu alasan Asha seneng.” ucap Dhafi dengan lirih.

“Gimana lo bisa tahu Asya punya perasaan yang sama atau enggak kalo lo cuman ngomong di belakang, lagian juga lo suka dia dari dulu Dhaf.” jawab Arum sahabat karib Dhafi sejak SMA.

Tanpa Dhafi sadari, aku tak sengaja mendengar apa yang mereka bicarakan hari itu. Jujur saja setelah aku mendengar apa yang mereka bicarakan aku sedikit takut dengan segala pikiranku, namun tanpa berfikir panjang aku langsung mengajak Dhafin bertemu malam itu.

Hari itu sangat mendung, tapi dengan perasaan takut aku harus tetap memilih untuk menemui Dhafin. Jujur saja setelah melihat wajah Dhafin nyaliku sedikit ciut, aku bingung sekali bagaimana aku akan mengawali pembicaraan kami malam itu namun pada akhirnya aku mengusir segala keraguanku “Dhaf, apa benar ya kalau kamu selama ini nyimpen perasaan ke aku,” tanyaku sembari melihat tepat pada wajah Dhafi yang terlihat gusar setelah mendengar ucapanku. “Jika memang benar bahwa selama ini kamu memiliki perasaan yang bukan hanya sekedar teman, aku mohon sekali jangan jatuh hati kepadaku teralu dalam. Karena entah mengapa, aku merasa bahwasannya kita gak setara Dhaf, kita beda,” lanjutku namun Dhafi segera membantah omonganku “apanya yang gak setara Sya,” jawab Dhafi dengan bertanya-tanya.

“Perasaan kita yang gak setara Dhaf, selama ini aku menganggap kamu hanyalah sosok teman aja gak lebih, namun jika memang kamu masih ingin mempertahankan perasaanmu aku gak bisa mencegah hal itu, tapi yang harus kamu tahu sebuah hubungan harus punya kesetaraan dari segi apapun mulai dari perasaan, sampai latar belakang dan aku rasa kamu tahu hal itu Dhaf.” jawabku dengan perasaan kalut.

“Asya, jika boleh aku jujur aku tak mempermasalahkan status kita nantinya akan seperti apa, kalau memang alasannya perasaan kita aja yang gak setara, aku yakin seiring berjalannya waktu aku yakin perasaan kita pasti bisa setara Sya. Namun, yang harus kamu tahu aku akan jadi orang yang selalu berharap kalau seandainya di masa depan kita bertemu kembali semoga kamu lebih bahagia dari hari ini ya Sya, dan yang harus kamu tau sejak pertemuan kita beberapa tahun lalu jujur saja aku jatuh hati untuk yang pertama kalinya dan kamu adalah sosok yang ngebuat aku jatuh hati. Jika kamu bertanya mengapa aku mencintai orang sepertimu, jujur aja aku tak tahu jawabannya dan jika kamu berkenan bolehkah aku mengantar kamu untuk yang terakhir kalinya.” Setelah dhafi mengatakan hal tersebut tanpa berfikir panjang aku langsung mengiyakan tawaran Dhafi.

Malam itu adalah malam terakhir kami mengelilingi Malang bersama. Jalan Idjen yang biasanya ramai namun malam ini sepi tak seperti biasanya seolah tahu bagaimana perasaan kami. Jika biasanya Dhafi akan mengajakku mengobrol sepanjang jalan tapi malam ini berbeda, Dhafi hanya terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Hujan malam itu menjadi saksi perpisahan kami. Sebelum kami resmi untuk memilih saling mengakhiri. “Sungguh terima kasih ya Sya untuk yang ke sekian kalinya, terima kasih untuk kesempatan mengenalmu dan jika memang Tuhan masih berbaik hati memberi kita kesempatan ayo kita wujutin cinta yang setara sama seperti apa yang kamu mau gue janji Sya, gue janji bakal ngewujutin itu.” ucap Dhafi pada malam itu tepat pada pukul 22:30 WIB. sebelum akhirnya Dhafi meninggalkan gang kos milikku.

Namun yang tak banyak orang ketahui jika bahwasanya bukan hanya perasaan kami yang tidak setara yang menjadi alasan aku menolak Dhafi malam itu, tapi karena tujuan hidup kami serta lingkungan kami yang berbeda. Jika Dhafi adalah sosok laki-laki yang jika ingin bermimpi tak perlu susah payah untuk mendapatkannya justru aku sebaliknya aku perlu bersusah payah untuk hal itu. Latar ekonomi dan latar belakang kami saja sudah sangat berbeda dan jika masih akan terus berlanjut bukankah akan mengorbankan banyak sekali pihak, aku tak ingin jika suatu saat Dhafin menyesal karena memilih bersamaku.

Malam itu di balik selimut aku menangis sekencang-kencangnya melepaskan segala amarahku. Aku sendiri tidak menyesal mengambil keputusan ini karena menurutku jika tujuan hidup kami sudah berbeda apa yang perlu diusahakan. Cinta tidak perlu dicari tapi cinta dan perasaan akan tumbuh sendiri. Suasana kamar menjadi hening cahaya yang redup kini aku selalu teringat tentang lagu "Sorai" karya Nadin Amizah yang selalu membuatku teringat pada soasok Dhafi. Sorai memiliki makna yang sangat dalam antara aku dan Dhafi, sungguh jika boleh jujur aku tak suka perasaan seperti ini sebuah perasaan yang tidak jelas. Aku menginginkan Dhafi namun di sisi lain aku merasa bahwasanya kami berbeda.

Tepat satu tahun setelah kisah singkat kami usai banyak hal yang terjadi salah satunya adalah pencapaian terbesar Dhafi yang aku dengar melalui akun instagram pribadi miliknya, akhirnya Dhafi melangsungkan seminar proposal. Meski aku tak turut hadir dalam perjalanan Dhafi satu tahun terakhir ini namun aku sangat bangga dengan apa yang telah Dhafi raih. Rasanya aku tak pantas untuk mengungkapkan hal itu, melihat Dhafi dari jauh dan mengagumi keberhasilannya saja sudah cukup. Dan yang baru aku sadari semakin aku ingin melupakan Dhafin perasaan tak rela mulai muncul secara tiba- tiba, aku seringkali bertanya Tanya dalam diriku apa perasaan itu datang terlambat.

Malam itu entah mengapa aku ingin sekali rasanya menanyakan kabar Dhafi, tapi sebelum aku mengirimkan pesan, Dhafi terlebih dahulu menanyakan kabarku “Apa kabar sya,” tanya Dhafi. Sebuah pesan singkat yang membuat perasaanku sangat kalut saat Dhafi menanyakan hal tersebut. Belum sempat aku menjawab Dhafin sudah bertanya kembali “Sya, maaf aku tak bisa menepati janjiku kala itu untuk mewujudutin perasaan yang sama seperti apa yang kamu mau, karena pada akhirnya aku menemukan sosok perempuan yang mirip kamu mulai dari cara dia memperlakukanku, serta cara dia tersenyum dan pada akhirnya aku jatuh hati sejatuh-jatuhnya ke dia, sekali lagi aku meminta maaf, tapi yang perlu kamu ingat aku akan terus ingat kamu Sya sampai kapan pun.” jawab Dhafi yang tanpa aku cegah air mataku luruh setelah membaca pesan singkat tersebut.

“Dhaf aku tidak mempermasalahkan hal itu kamu tenang saja, perasaan manusia tidak bisa dicegah dan hidup ini singkat maka kamu berhak jatuh cinta pada siapa pun, tapi jika boleh jujur aku sedikit kecewa. Namun, apa boleh buat dan yang harus kamu ketahui bahwa aku sangat bangga dengan segala pencapaian yang kamu raih saat ini, Dhaf jangan pernah berpikir untuk menaruh bayanganku ke orang lain karena sejatinya aku hanyalah aku begitu pun dia Dhaf, kami berbeda.”

Setelah mengirim pesan tersebut aku memilih untuk menghapus semua akses media sosial Dhafi dan pada akhirnya aku tahu.

Sekalipun takdir tidak akan pernah menemukan kita kembali lagi dan aku harap kamu selalu bahagia di setiap prosesmu, aku tidak pernah menyesal menyimpan perasaan sedalam ini padamu, walaupun pada akhirnya kita tidak lagi bersama, tapi kamu harus tahu bahwa aku menyayangimu lebih dari yang kamu tahu, tidak ada kebohongan apa pun tentang perasaaan ini, bahkan kepergian kamu adalah suatu hal yang sangat aku sesali dalam hidup ini. Hidup lebih baik tanpa aku Fin, untuk sekarang mungkin aku yang lebih pantas dengan kalimat tersebut.

Akhirnya aku sadar jika Malang akan selalu jadi rumah keduaku yang hanya untuk sekedar mengingat-ingat tentang kenangan kami, yang pada awalnya hanya untuk dikenang. Mungkin pada akhirnya akan dilupakan, karena bahwasannya hidup akan terus berjalan dan sangat tidak mungkin jika aku hanya akan terus berharap, karena setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya.


Penulis: Maherawati, Siswi SMK Farmasi Bina Farma, Kota Madiun

0 Komentar