Pixabay.com

Idelando-Tulisan ini berawal dari obrolan dengan seorang teman di beranda depan rumah pada suatu sore. Sambil minum kopi, kita membahas tentang menulis dan buku. Kita mengobrol cukup lama, selama menyeruput kopi.

Kita sama-sama ingin belajar menulis, hanya saja dia berada dua langkah di depan saya. Tingkat literasinya cukup baik. Ia suka membaca novel dan berbagai literatur “kiri”. Sudah dua kali rumahnya menjadi perpustakaan bagi saya.

Dia bercerita kalau ia baru saja menyelesaikan salah satu bacaannya setebal 300-an halaman tentang dunia kepenulisan. Itu merupakan buku terjemahan berisi kumpulan esai tulisan penulis-penulis dunia. Dari penulis-penulis itu ia memperoleh nasihat-nasihat mengarang.

Bagus itu buku e. Kita seperti dengar mereka berbicara, karena yang mereka tulis itu tentang bagaimana mereka di kamar atau di ruang kerja waktu menulis. Saat mana mereka tidur; bagaimana mereka saat bangun. Terus bagaimana mereka memulai kalimat pertama…tapi saya jadi malu mau menulis sekarang e. Saya macam dikritik habis-habisan waktu baca itu buku…“, kurang lebih seperti itu teman saya bercerita.

Sebagai orang yang berada dua langkah di belakang dia, perasaan malu itu dua kali lipat, walaupun belum pernah membaca buku yang dia maksudkan. Bagaimana tidak, perasaan malu itu pertama-tama diungkap oleh orang yang menulis lebih baik dari saya. Orang yang justru menjadi salah satu model bagi saya.

Obrolan sore itu pun menjadi bahan refleksi. Waktu malam, di kamar, saya membuka kembali tulisan-tulisan lama saya di memo handphone dan blog. Saya membaca kalimat demi kalimat; menghapus paragraf; mengkoreksi kata demi kata secara berulang-ulang berusaha menemukan kata yang tepat; menggonta-ganti tanda baca; dan menarik kembali menjadi draft tulisan yang sudah saya publikasikan melalui blog.

Semua itu saya lakukan dengan tak karuan. Saya merasa menjadi orang yang paling serampangan dalam menulis. Tindakan menarik kembali tulisan di blog disebabkan perasaan malu yang terus menghantui saya. Sampai pada akhirnya saya putuskan untuk berhenti.

Haruskah Kita Malu?

Ini adalah tulisan kedua saya setelah perasaan malu itu terobati. Sebelumnya, saya banyak membaca buku kiat-kiat menulis. Dari tentang kosakata sampai tentang paragraf. Buku yang paling menarik bagi saya ialah buku berjudul “Memikirkan Kata”. Buku itu berisi esai-esai terjemahan tulisan penulis-penulis dunia, seperti Virginia Woolf, Gabriel Garcia Marquez, Ernest Hemingway, Kurt Vonnegut, dll.

Buku setebal 549 halaman itu adalah obat bagi saya. Lebih tepat, bukan bukunya, melainkan nasihat dari penulis-penulisnya. Saya mendengar mereka berbicara dengan saya dan menceritakan pengalaman mereka. 

Bagaimana mereka menjadi penulis pemula. Mereka dikritik habis-habisan oleh editor suatu media. Tulisan mereka dikembalikan karena tidak layak terbit. Sampai akhirnya mereka dapat menghasilkan karya besar yang berguna bagi diri mereka sendiri dan orang lain.

Sebagai pemula yang masih dini, saya berani mengatakan bahwa tak perlu malu untuk menulis. Tulisan yang baik berawal dari kesalahan demi kesalahan.

Proses menulis terjadi secara terus menerus. Tak pernah mencapai kesempurnaan, karena menulis membutuhkan kepekaan, baik dalam memformulasikan kata-kata maupun pengalaman. Ketika kita ingin menulis topik yang berbeda, kita membutuhkan kepekaan dalam memformulasikan kata-kata dan pengalaman yang berkaitan dengan topik yang kita tulis.

Sebagaimana Hemingway mengatakan “hal tersulit yang harus dilakukan penulis adalah menuliskan prosa dengan sejujur-jujurnya. Pertama, ia harus tahu subjek yang hendak diceritakan, lalu tahu caranya menulis–keduanya butuh latihan seumur hidup”.

Pengalaman lain datang dari Gabriel Marquez dan Philip Roth. Mereka menceritakan bagaimana mereka kesulitan memulai kalimat dan paragraf pertama. Philip yang secara berulang-ulang menulis kalimat dan paragraf pembuka novel, sampai ia bisa mengatakan “itulah paragraf pembuka novelmu” kepada dirinya sendiri.

Marquez menghabiskan waktu berbulan-bulan pada paragraf pertama dan saat ia mendapatkannya, paragraf selanjutnya muncul begitu saja dengan sangat mudah. Bagi dia, paragraf pertama adalah sampel bagaimana keseluruhan sebuah buku.

Jadi tidak ada alasan untuk malu. Malu adalah perasaan yang buruk dan berhenti menulis adalah keputusan yang buruk. Kedua hal itu tidak mengubah apapun. Nasihat para penulis hebat seharusnya menggugah semangat kita untuk terus menulis. Masukan dan kritikan dari pembaca adalah tuntunan agar menulis lebih baik.

Manulis Itu Sakral dan Memang Rumit

Sakral berarti suci; keramat (KBBI V). Kesakralan tulisan terletak di bahasa. Hal inilah yang dikatakan Vonnegut: kesederhanaan bahasa bukan hanya merupakan reputasi, tetapi mungkin juga sakral. Bagi saya, tidak ada kata mungkin untuk kesakralan bahasa. Bahasa memang sakral. 

Bermain-main dengan sesuatu yang sakral memang rumit, memerlukan seluruh diri kita, menghabiskan nyaris semua waktu yang kita miliki jika ingin mengecap nikmatnya.

Kerumitan menulis seperti yang dikatakan Carebesth bahwa menulis seperti memasak. Untuk bisa memasak, dibutuhkan pengetahuan ragam bumbu pada setiap masakan yang dikehendaki, berbeda pula rupa bumbu dan teknik mengolahnya; juga kapan memasukkan masing-masing bumbu, kapan mengurangi atau membesarkan apinya; semua butuh dipelajari dan hasilnya selalu khas, unik dan personal, juga penikmat yang khas dan berbeda pula.

Latihan dapat menambah khazanah intuisi kita tentang menulis. Kita dapat lebih peka menanggapi fenomena sekitar dan peka memformulasikan pengalaman melalui kata-kata.

Kita dapat mengikuti saran Zinsser: satu-satunya cara untuk memeriksa karya kalian demi adanya satu kesatuan adalah dengan mengulanginya sekali lagi dari awal sampai akhir, ada baiknya membaca tulisan dengan suara yang keras. Lihat apakah kalian telah melaksanakan semua keputusan yang kalian buat sebelum kalian mulai menulis. Dengan kata lain, editor utama tulisan kita adalah kita sendiri.

Selain itu, latihan haruslah aktif bukan pasif, artinya menulis tidak dilakukan sendiri dan untuk diri sendiri. Kita perlu mengirim ke berbagai media–kehadiran media online sebagai kemudahan–agar kita dapat menemukan kesalahan. Dari sana kita memperoleh masukan dan kritikan dari editor. Dengan begitu keterampilan kita selalu diasah.

Dalam dunia akademik misalnya, mahasiswa dituntut untuk menulis artikel jurnal. Ketika mengirim artikel ke jurnal-jurnal tertentu, kita akan mendapat kritikan yang sangat menyayat hati dari para reviewer profesional. Ada puluhan catatan kritis dari mereka untuk artikel kita. Mulai dari ketepatan huruf sampai alur berpikir kita. Perasaan malu pasti ada. Tapi suka atau tidak suka, kita harus menerima itu.

Menulis Untuk Diri Sendiri

Dari nasihat menulis yang ditulis 92 penulis dunia yang saya baca, ada tiga poin yang perlu saya bagikan di sini. Pertama, kita harus memulai dengan menulis untuk diri sendiri. Sebelum memberi kenikmatan untuk orang lain, kita harus memberi kenikmatan untuk diri sendiri. Setidaknya kita memberi makan batin sendiri.

Kedua, kita perlu membaca banyak buku. Menulis tanpa membaca itu ibarat sayur tanpa garam. Kami orang Baja biasa bilang ute beléUte belé  ‘sayur hambar’ biasanya menjadi makanan orang sakit. Demikian halnya menulis tanpa membaca adalah pekerjaan orang sakit. Sudah pasti tulisan yang dihasilkan pun ‘belé’ (hambar).

Ketiga, jangan sibuk berpikir jadi penulis sampai lupa bagaimana cara menulis. Atau sibuk berpikir jadi wartawan sampai lupa bagaimana menulis berita. Oleh karena itu, perlu belajar dan latihan terus-menerus.

Baik, sebelum tulisan ini semakin tak menentu, saya mau bilang, barangkali belum layak saya menulis topik ini, mengingat saya adalah penulis pemula, dini lagi. Apalagi kalau dibaca oleh penulis-penulis profesional, sudah pasti tulisan ini ‘belé’ adanya.

Tulisan ini adalah buah refleksi saya terhadap pengalaman (membaca) yang saya alami, sehingga saya merasa perlu dibagikan kepada Sahabat Ngkiong. Sesuai dengan moto media kami ini yang terbilang masih serampangan: ba nera neteng bendar. Jadi, tidak ada salahnya berbagi di sini. Setidaknya dapat mengobati mereka yang masih malu menulis.*

Penulis: Opin Sanjaya, Redaktur Idelando

Artikel ini telah dipublikasikan di Ngkiong.com, ini sebagai bentuk dokumentasi dari penulis.

0 Komentar