Untuk kesekian kalinya ia harus menangis. Mengais lebih banyak kasih sebelum akhirnya kembali mengucap terima kasih. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu turut prihatin.

Idelando.com-Di bawah tangga toko itu, ada tumpukan-tumpukan kardus bekas yang disimpan begitu saja oleh para karyawan toko. Tidak banyak orang yang tahu, tumpukan-tumpukan kardus itu justru menjadi rumah yang nyaman, setidaknya bagi mereka-mereka yang tak berumah.

***

Seperti biasa, jalan raya depan emperan toko itu selalu ramai. Tak peduli siang atau pun malam. Jalanan itu memang jarang sepi. Orang-orang seperti selalu memiliki alasan untuk melintasi jalan itu. Atau bahkan ada kesibukan-kesibukkan tertentu yang mengharuskan mereka berlalu-lalang di jalan depan emperan toko itu.

Anak-anak berjalan sambil sesekali saling rangkul. Beberapa di antaranya sambil menenteng makanan ringan yang dibeli dari para penjajan di sepanjang pinggiran jalan. Ada yang tersenyum lebar sambil berupaya mengoyakkan isi mulut. Ada juga yang saling berkejaran.

Ia menyaksikan semua itu tepat ketika siang hari. Ketika matahari berada jauh di atas ubun-ubunnya. Dari tempat yang sama ia suka melayangkan angannya. Berkhayal seandainya ia seperti gadis-gadis kecil lainnya.

Ia seringkali tenggelam dalam lamunan yang panjang. Sampai-sampai tak ia sadari sudah ada sekian banyak tangan penuh kasih yang telah menyisihkan uang receh ke dalam kaleng berkarat yang ia tenteng.

Ia menyesal sendiri ketika tak sempat mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah menyisihkan uang receh untuknya. Kadang ia berlari kecil saja. Mengejar orang yang telah berbaik hati dengannya. Ia akan mengucap terima kasih tepat ketika orang yang ia kejar didapatinya.

Senja hari, sebelum bumi tak luput dari gelap, ia akan terlebih dahulu pulang. Kembali ke balik tumpukan-tumpukan kardus yang ia anggap sebagai rumah paling nyaman. Ia tetap saja menganggap tumpukan kardus itu sebagai rumah paling nyaman meski setiap malam ia harus menggigil. Dingin akan leluasa menggigitnya ketika malam tiba.

Terlebih ketika musim hujan. Ia seperti berjuang keras melawan dingin. Melawan angin yang tak pernah mau berdamai dengannya. Itu semua ia hadapi tanpa banyak keluh. Tidak ada protes. Yang ada memang hanya gigil. Selebihnya ia maklum.

***

Ia terlihat sangat serius memperhatikan lembaran-lembaran uang yang ia sendiri tak tahu persis jumlahnya. Lembaran uang itu ia peroleh setelah seharian nongol di pintu masuk toko. Sambil menenteng kaleng berkarat.

Siang itu, beberapa bocah lelaki seumurannya datang mendekat kearahnya. Mereka jalan berangkulan. Sesampai di tempat ia duduk, bocah-bocah itu berbuat kurang ajar. Salah seorang dari antara mereka merebut lembaran-lembaran uang yang dipegangnya lalu berlari meninggalkannya.

Ia tak dapat berbuat banyak. Untuk kesekian kalinya ia harus menangis. Mengais lebih banyak kasih sebelum akhirnya kembali mengucap terima kasih. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu turut prihatin.

Mereka tak sekadar menggelengkan kepala. Banyak di antara mereka yang mendekati gadis kecil itu. Memberinya uang seadanya. Dan memang benar. Gadis kecil itu berhasil mengais kasih. Ia mengucap terima kasih sedalam kasih yang ia terima.

Ketika hari semakin siang, gadis kecil itu tak lagi berkuasa menahan lapar. Dibawanya kaleng berkarat berisi uang receh itu kepada perempuan paruh baya yang berada tak jauh darinya.

Lalu ia menyerahkan semua uang yang terdapat dalam kaleng berkarat yang ia tenteng. Perempuan paruh baya itu akan menyerahkan sebungkus nasi dengan lauk seadanya. Sesuai dengan jumlah uang yang diberikan si gadis kecil itu.

Dengan amat bahagia, gadis itu akan kembali ke tempat tinggalnya. Bersembunyi di antara tumpukan-tumpukan kardus bekas di bawah tangga toko itu. Ia langsung membuka bungkusan nasi yang didapatnya dari Oma Minah.

Oma Minah, begitu ia menyapa perempuan paruh baya itu, adalah satu-satunya pemilik warung yang selalu setia melayaninya. Oma Minah melayaninya setiap hari. Bahkan setiap ia merasa lapar.

Tidak ada yang pernah melihat ia ketika sedang makan. Makan baginya menjadi semacam urusan pribadi yang tak perlu diketahui banyak orang. Kecuali Oma Minah. Mungkin Oma Minah menjadi satu-satunya orang yang pernah melihat ia ketika sedang makan.

Itu karena Oma Minah acapkali mengajaknya makan di warung. Gadis kecil itu merasa sangat bahagia ketika berkesempatan makan di warung milik oma Minah. Ia akan mengucap terima kasih hingga berkali-kali kepada Oma Minah sebelum meninggalkan warung Oma Minah.

***

Pada suatu siang yang panasnya begitu-begitu saja, gadis kecil itu berjalan menyusuri trotoar di samping toko. Ia memungut lembaran serta buku apa saja yang ia temukan dalam perjalanannya itu.

Setelah banyak yang terkumpul, gadis kecil itu akan kembali ke tempat tinggalnya. Memungut lembaran buku adalah hal yang ia lakukan ketika hari Minggu. Ia memang tahu. Hari Minggu adalah hari libur. Anak-anak sekolah tidak ada yang melintas di depan toko itu. Trotoar di samping toko menjadi sedikit sepi ketika hari Minggu.

Itulah mengapa ia melakukan hal itu tepat ketika hari Minggu. Agar tidak banyak anak-anak yang menertawakannya. Agar tidak banyak anak-anak yang mengusik keseruan dunianya.

“Apa yang sedang engkau kerjakan?” seru oma Minah dari dalam warungnya ketika melihat gadis itu sibuk memungut lembaran buku yang tercecer di trotoar depan warung. Gadis itu hanya tersenyum ketika ditanya demikian. Ia bergegas meninggalkan trotoar depan warung oma Minah dan kembali ke tempatnya.

Lembaran-lembaran buku yang berhasil ia pungut dikumpulkannya dibagian kepalanya. Lembaran itu seperti dijadikan bantal. Tetapi lembaran itu tidak dijadikannya bantal. Ia memang sengaja meletakkan lembaran-lembaran itu di bagian kepalanya. Entah apa yang ia maksudkan dengan berbuat demikian.

Orang-orang mulai menanyakan keberadaan gadis kecil itu. Ia tidak lagi nongol di tempat biasanya. Tumpukan kardus di bawah tangga toko itu juga sudah tidak kelihatan lagi. Jejak gadis kecil itu hampir tidak ada yang tersisa.

Sejak pemilik toko memerintahkan para karyawannya untuk membersihkan tumpukkan kardus di bawah tangga, gadis kecil itu seperti kehilangan rumah. Ia seperti burung yang terpaksa meninggalkan sarangnya. Gadis kecil itu hilang mendadak.

Tidak ada yang tahu persis keberadaannya sekarang. Belakangan orang tahu kalau gadis kecil itu sebenarnya ingin melihat dunia. Itu sebabnya ia menumpukkan lembaran-lembaran buku di bagian kepalanya. Berharap ada ilmu yang berhasil menerobos masuk ke dalam otaknya ketika malam. Ketika ia terlelap.


Penulis: Aprianus Defal Deriano Bagung. Seorang pelajar yang sangat menggemari dunia sastra. Apri Bagung (demikian sapaan akrabnya), lahir pada 03 April 2004. Ia aktif menulis di berbagai media online lokal. Beberapa tulisannnya (opini, cerpen dan puisi) telah dimuat di beberapa media online lokal seperti Natas Labar.com, Voxntt.com dan Ngkiong.com. Membaca dan menulis adalah kegiatan yang paling digemarinya selain berolahraga. Apri Bagung dapat dihubungi melalui akun medsos Apri Bagung (Facebook) dan defalderiano_(instagram)

0 Komentar