Idelando.com-Tulisan ini merupakan buah dari penjelajahan akademis saya di Manggarai Timur. Penjelajahan sejak Juni sampai Oktober 2020 itu dilakukan dengan tujuan meneliti ritus-ritus adat di sana dalam rangka memenuhi tugas kuliah. Demi menyukseskan penelitian, saya mengunjungi daerah-daerah di Manggarai Timur, tepatnya di Manus Kecamatan Kota Komba Utara, Baja Kecamatan Elar Selatan, dan Tok Kecamatan Borong.

Penjelajahan ini sangat mengesankan, lebih dari sekadar penelitian. Sebagai insan yang berdarah Baja dan Manus, penjelajahan ini mempertebal intuisi saya tentang kabudayaan kedua tanah asal dan kelahiran (Manus) yang sangat jarang saya kunjung. Bagaimana perjalanan saya ke sana, tak cukup saya ceritakan di sini. Yang pasti sangat tertantang dan mengasyikan.

Ritus adat yang saya teliti (lebih tepatnya bahasa ritus) adalah kelas mese. Kenduri yang diadakan secara besar-besaran. Saya menghadiri ritus kelas di Manus dan Tok secara total. Saya menemukan banyak hal baru. Begitu banyak pertanyaan yang muncul. Apa itu? Apa kegunaannya? Apa maksudnya? Mengapa itu dilakukan? Berdasarkan itu, dalam kesempatan ini saya membagikan salah satu dari sekian banyak hal yang saya amati, catat, dan dokumentasi, yaitu ritual legha kiwan.

Salah satu warisan yang dijaga oleh masyarakat Manggarai Timur sejak dulu sampai saat ini adalah ritual legha kiwan. Dalam dialek Manus, kata legha berarti ‘selang’ dan kata kiwan berarti ‘tahun’. Namun, dalam konteks ritual, kata kiwan bukan mengacu kepada “tahun” yang terdiri atas 12 bulan, melainkan “periode”. Kata “periode” mengacu pada hari-hari sebelum dan setelah ritual. Jadi, ritual ini mengantarai periode lama dan periode baru.

Tujuan utama ritual ini adalah mengucap syukur atas hasil panen. Syukur dirayakan dengan makan padi baru bersama—padi yang benar-benar baru dari hasil panen saat itu.

“Ini acara yang wajib dibuat pada malam hari sebelum keesokan harinya kélas sebagai tanda syukur kepada leluhur, karena kesuksesan, keberhasilan yang kita peroleh juga berkat dukungan mereka (baca: leluhur). Kalau dalam konteks kami di sini syukur atas hasil panen yang diperoleh. Sebelum  besok kélas, kita perlu bersyukur dulu sebagai penghormatan terhadap mereka.” jelas Raymundus (tokoh adat) pada Kamis (17/09/2020).

Toe di uwa dite kaut legha kiwan gho, pu isé éta pu lén oloZadi, apa ata pesan disé olon pandé lité. Ai omé toé bisa rugi lisé, sama ata toé hormat isé.” sambung Agustinus sebagai pemimpin ritual legha kiwan.

(Bukan di masa kita saja legha kiwan ini, sejak mereka (baca: leluhur) sejak masa mereka. Jadi, apa yang menjadi pesan mereka dulu kita lakukan. Jika tidak, mereka akan marah, sama saja kita tidak menghormati mereka)

Sarana utama ritual ini ialah seekor ayam jantan putih (manuk lalong bakok) dan seekor babi (ela). Dalam praktiknya, pemimpin ritual menyampaikan doa-doa kepada leluhur sambil memegang ayam, sementara itu, babi diletakkan di depan rumah. Panenan juga dihadirkan secara simbolis dalam ritual, seperti padi, jagung, dan sayur, yang disimpan di atas nyiru.

“Secara simbolis ayam jantan putih melambangkan ketulusan dan keterbukaan hati kita di hadapan leluhur. Maksudnya, kita tulus mempersembahkan itu kepada mereka sebagai rasa syukur. Juga sebagai simbol permohonan kita kepada mereka, seperti kesehatan dan kesuksesan. Kita mengharapkan kesehatan dan dibebaskan dari segala sakit penyakit ibarat ayam jantan putih. Kalau babi, sebagai tanda syukur. Kita sudah menerima banyak berkat, maka perlu mengurbankan hewan yang lebih besar.” jelas Raymundus.

Maksud atau tujuan ritual legha kiwan tercermin dalam ungkapan simbolis: na’a wa kiwan manga téti kiwan weru, ramba pesa kolé bébér, rasan kolé kopé, tua wua serop saun. Jika diparafrasekan menjadi ‘melepas musim lama menyambut musim baru, supaya kembali bekerja, membuahkan hasil’. Pelepasan periode lama diwujudkan dengan syukuran atas berkat yang telah diterima, sedangkan penyambutan periode baru diwujudkan dengan mohon berkat.

***

Masyarakat Agraris

Jika ditilik, ungkapan di atas mencerminkan masyarakat setempat sebagai masyarakat agraris. Kata bébér ‘menebas/merambah’, kopé ‘parang’, wua ‘buah’, saun ‘daun’. Kata-kata ini menggambarkan intensitas interaksi warga Tok dengan lingkungan alam tempat mereka bergantung untuk kelangsungan hidupnya. Mereka adalah komune yang menanam cengkih, kemiri, dan coklat untuk menyambung hidup.

Parang merupakan alat yang mereka gunakan untuk bertani/berkebun; merambah (bébér) merupakan rutinitas mereka; dan buah (wua) dan saun (daun) adalah tuaian mereka. Melalui ritual legha kiwan, mereka bersyukur atas apa yang telah mereka kerja dan tuai di musim yang telah lalu dan memohon berkat untuk apa yang akan mereka kerjakan dan tanam pada musim yang baru.

Kesehatan dan Persatuan Adalah Yang Utama

Kesehatan jiwa dan raga yang baik adalah fondasi bagi keberlangsungan hidup manusia. Bagi mereka kesejahteraan hidup ditandai dengan kesehatan jiwa dan raga yang baik. Rahmat kesehatan selalu menjadi permohonan dalam ritual, sebagaimana tercermin dalam ungkapan uwa gula bok leso ‘bertumbuh di pagi hari berkembang di siang hari’.

Kata uwa (tumbuh) dan kata bok (berkembang) menggambarkan harapan akan kesejahteraan hidup, yang disingkap secara kronologis dengan pengetahuan mengenai kesuburan pertumbuhan dan perkembagan tanaman di ladang. Dari perspektif ekolinguistik, kata Stibe, kosakata di atas menggambarkan intensitas interaksi masyarakat setempat dengan lingkungan alam tempat bergantung untuk kelangsungan hidup. Pengalaman kemudian digunakan untuk menggambarkan dimensi kehidupannya yang lain.

Kemudian, pentingnya persatuan tercermin dalam ungkapan kope oles todo kongkol ‘persatuan’. Mereka sebagai masyarakat komunal membutuhkan teman untuk hidup dan bekerja sama dalam identitasnya sebagai masyarakat agraris.

Dengan demikian, pemujaan leluhur adalah sumber kontrol sosial yang penting, serta memperkuat hubungan kekerabatan dan sosial. Ritual mencerminkan kedalaman hubungan kekerabatan. Ritual menjadi strategi budaya untuk melindungi keturunan.

Hal itu terbukti dalam pelaksanaan ritual legha kiwan yang melibatkan keluarga besar dengan peranan masing-masing. Peranan yang dimaksud ialah peranan sebagai anak ronaanak wina, dan ase ka’e. Dengan adanya peranan itu, keharmonisan hubungan kekerabatan menjadi tanggung jawab bersama.

***

Puncak ritual legha kiwan adalah penyembelihan hewan kurban, kemudian dilanjutkan dengan toto urat: tradisi prognosis untuk melihat tanda-tanda kebaikan atau keburukan di waktu yang akan datang—dan diyakini sebagai jawaban dari leluhur—melalui salah satu bagian organ tubuh ayam yang dinamakan urat. Selanjutnya, ritual ini dirayakan dengan makan padi baru bersama semua peserta ritual. 

Dari pengalaman di atas dapat dilihat, ada hubungan timbal balik antara leluhur dan manusia yang diekspresikan melalui kerangka ritual. Manusia merawat mereka melalui persembahan ritual. Tindakan itu dibalas dengan berkat oleh mereka. Ritual leluhur membentuk nilai-nilai yang terkait dengan kepedulian terhadap leluhur dan sesama, yang begitu signifikan dalam kebudayaan Manggarai.


Penulis: Fransiskus Opileoanus Sanjaya—biasa dipanggil Opin. Redaktur Idelando.com

0 Komentar