Idelando-Musim hujan hampir merata di seluruh wilayah Indonesia menuju akhir tahun 2022 ini. Mulai dari hujan sedang, hujan ringan, sampai hujan petir menyebar di berbagai wilayah Indonesia. Dampak buruk yang biasa terjadi dari cuaca ini adalah banjir, seperti yang terjadi di Kabupaten Aceh Tamiang dan di Perumahan Wahyu Utomo, Kecamatan Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah yang baru saja terjadi (Kompas, 7/11/22). Bencana alam ini mengingatkan kita semua agar selalu waspada ketika sedang melakukan aktivitas di luar rumah.

Untuk wilayah Manggarai, Flores, NTT, hujan sudah merata. Di Ruteng tempat tinggal saya, dua minggu terakhir ini dilanda hujan petir. Saat hujan petir seperti ini, selalu berhati-hati ya menggunakan barang elektronik. Ketika hujan ada baiknya handphone dimatikan atau mode pesawat saja. Bagi teman-teman yang bekerja di tempat jauh, seperti di Kecamatan Ruteng atau Kecamatan Kuwu, agar selalu berhati-hati ketika melintasi jalur Wae Garit. Dalam minggu ini sering terjadi erosi dan pohon tumbang karena hujan.

Saat ini, kalau berkabar via telephone dengan sanak saudara yang jauh, salah satu topik yang dibicarakan adalah curah hujan.

"Usan awo?" [Di sana (Timur) hujan?]

"Usan aw, toe ngaseng to pean wena." [Di sini hujan, tidak bisa keluar rumah]

Atau

"Usang sale ko?" [Di sana (Barat) hujan?]

"Ae usang e, ho reme ce'e sekolah toe de kole mbaru pende le usang. Cait darem e." [Di sini hujan, masih di sekolah belum pulang rumah karena hujan. Apalagi lapar]

Beginilah sanak saudara menggambarkan curah hujan di wilayahnya. Dari cuplikan percakapan 1 kita bisa tahu bahwa di wilayah itu sedang dureng (hujan setiap hari tanpa henti, siang dan malam), sedangkan dari percakapan 2 kita bisa tahu bahwa di wilayah itu hujan turun pada siang hari.

Biasanya dari topik curah hujan berpindah ke keluhan. Sanak saudara di kampung biasanya mengeluhkan lumpur di halaman kampung, panenan berkurang, seperti kopi dan mangga, karena curah hujan terlalu tinggi. Kalau sanak saudara yang tinggal di kota keluhannya seputar sulitnya pulang dari kantor atau sekolah, jemuran yang tak kunjung kering, dan sulitnya pergi belanja di pasar. Kalau topiknya begini, pasti ada percakapan begini:

"Bo meu se'e beo manga wekin tete ko latun pele ghan pareng kopi agu usan ghon." [Mending kamu di kampung masih bisa makan ubi atau jagung untuk dimakan dengan kopi saat hujan begini]

Selain itu, kita juga sering menghardik hujan. Ketika sedang di perjalanan menuju rumah atau tempat kerja menggunakan motor tiba-tiba saja hujan turun, pasti kita langsung menghardik hujan. Ketika kita baru saja menjemur pakaian tiba-tiba hujan turun, pasti kita langsung menghardik hujan dan yang ini hardiknya lebih parah. Apa pun yang datang tanpa izin pasti terkena hardik. Walaupun hujan datang pada waktunya, tapi tanpa izin si manusia buta BMKG, ia akan terkena hardik. Ia akan dibenci si manusia malas baca informasi itu.

Omong-omong tentang menjemur pakaian, ini adalah aktivitas yang harus dilakukan tetapi sangat menjengkelkan dilakukan saat musim hujan seperti ini. Mengapa menjengkelkan? Intensitas sinar matahari tidak stabil. Kadang terik kadang mendung, kadang terik kadang mendung, terjadi kontinu dalam sehari. Ini yang membuat kita bolak-balik menjemur pakaian. Ingin putus asa, tapi pakaiannya harus dipakai besok. Yang bikin emosi adalah baru saja terik tiba-tiba hujan. Saya yakin, kau baru saja mau tertidur, tapi karena bunyi atap rumah karena hujan kau langsung bangun dan melompat dari tempat tidur, membuka pintu dengan kasar menuju jemuran, lalu mengangkat jemuran sambil menghardik hujan: e...com mata hau ta usang! [Mati saja kau hujan!] Namanya hujan.

Menjaga Jemuran Seharian

Pernahkah kalian pada hari Minggu menjaga jemuran seperti menjaga bayi yang menangis sepanjang malam? Bayi itu adalah dirimu sendiri, karena jika pakaianmu basah terkena hujan, kau akan merengek kepada seisi rumah meminta solusi, tetapi mereka menjawab: sudah tahu kalau jam begini hujan, masih saja jemur itu pakaian. Tentu kau sangat tidak mengharapkan jawaban seperti ini?

Waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat dari keletihan setelah seminggu bekerja digunakan untuk menjaga jemuran agar tidak basah terkena hujan. Kau ingin tetap berbaring di ranjang, tetapi tidak boleh tertidur. Ini seperti menjaga bayi yang merengek sepanjang malam. Anda pasti tahu seperti apa deritanya. Akibatnya, kita mengorbankan waktu efektif kita yang lain. Sebagai contoh, kita sudah rencanakan, waktu hari Minggu setelah pulang dari Gereja kita gunakan hanya untuk bersantai atau tidur, sedangkan waktu malam, kita gunakan untuk menyiapkan materi ajar--kalau profesi Anda adalah guru. Namun, gara-gara hujan yang brengsek itu, semuanya buyar. Keesokkan harinya, terpaksa kau tampil apa adanya. Kalau penjagaan sukses masalah tidak terlalu serius. Yang serius kalau penjagaan tidak sukses. Keesokkan harinya kau tidak hanya memikirkan materi ajar yang belum disiapkan secara matang, tetapi juga meragukan penampilanmu karena tidak memakai baju kesukaan.

Lalu, pernahkan kalian berpikir, menjaga jemuran itu sebenarnya menjaga diri kita sendiri? Kita menjaga jemuran agar bisa menyelamatkan muka pada keesokkan harinya, baik menyelamatkan muka dari guru-guru/kepala sekolah atau menyelamatkan muka dari atasan. Seorang siswa akibat kelalaiannya sendiri terlambat mencuci pakaian seragam terpaksa berjuang mengeringkan pakaiannya agar tidak dihukum kepala sekolah pada hari Senin. Seorang karyawan berjuang mengeringkan pakaiannya agar tidak mendapat teguran dari atasannya. Ada juga yang berjuang mengeringkan pakaian agar tetap percaya diri mengenakan baju kesukaan. Padahal kan ada baju lain.

Jadi, ketika jemuran basah, kita tidak merengeki jemuran tetapi merengeki diri sendiri. Kita tidak menyesali jemuran, tetapi menyesali diri. Kita meragukan/mengkhawatirkan diri kita yang besok. Persetan dengan baju yang basah. Kita hanya peduli pada diri kita yang besok.

Penulis: Opin Sanjaya

0 Komentar