Pixabay.com

Idelando-Sejak zaman SD sampai sekarang saya menyukai film bertopeng.Topeng-topeng yang didesain sangat unik dan menarik menggugah selera saya untuk tetap bertahan di depan layar televisi. Topeng-topeng itu menggambarkan karakter tokoh, baik superhero maupun tokoh antagonis. Bahkan, saya lebih tertarik pada topeng-topeng itu daripada pemerannya. Alhasil, topeng-topeng itu menjadi ikonis dan masih saya ingat sampai sekarang.

Tokoh-tokoh bertopeng dapat kita temui baik dalam film kartun maupun film live action. Salah satu live action yang sangat saya suka di masa kecil adalah ninja Jepang. Pakaian tokoh yang serba hitam dan gerakan para tokoh dalam melancarkan aksinya yang terlihat indah bak penari membuat film itu sangat populer. Kepopuleran ninja Jepang pun melahirkan ninja-ninja kecil yang bermodalkan sarung yang diikat di kepala.

Karakter lain yang sangat saya suka adalah Spider-Man. Serial Spider-Man memecahkan masalah dengan menampilkan Peter Parker. Spider-Man tidak memiliki mentor super hero seperti Captain America dan Batman. Dia harus belajar untuk dirinya sendiri bahwa dengan kekuatan besar di sana juga harus ada tanggung jawab yang besar.

Kekuatan-kekuatan yang ia miliki menjadikan film ini super fiksi. Sering saya berkhayal di Ruteng terdapat banyak gedung tinggi dan saya menjadi Spider-Man yang melompat dari gedung ke gedung menyaksikan pekerjaan tuan-tuan, eh.

Dalam film animasi, karakter bertopeng banyak kita temui dalam Naruto. Karakter-karakter bertopeng dalam Naruto, yaitu Zabuza Momochi, Hanzo, Menma Uzumaki, Muu, Kakuzu, Sasori, Kakashi Hatake, Obito, dll. Karakter topeng yang paling ikonik adalah Obito. Sejak perang ninja sampai dihancurkannya Desa Konoha, Obito menggunakan topeng dan menutupi identitasnya yg asli. Dia dikenal sebagai Madara uciha.

Nah, mungkin tidak kita sadari bahwa masker yang kita kenakan adalah turunan dari topeng mereka, eh. Tapi, kita tak perlu berkhayal menjadi mereka, karena sesungguhnya hanya dengan bermasker, kita sudah menjadi panji bagi orang lain tanpa menahan pukulan dan berdarah. Bukannya enak? Sudahlah, su bosan kampanye pakai masker.

Sebenarnya, momen pilkada kemarinlah yang telah mengingatkan saya pada film-film bertopeng itu. Pasalnya, kehadiran orang-orang bertopeng menjelang dan sesudah pilkada–bahkan sampai detik ini–membuat rimba komunikasi media sosial (medsos) semakin tak terbendung. Mereka hadir dengan rupa topeng berbeda dan dengan tujuan berbeda pula.

Mereka hadir dalam rupa akun-akun palsu untuk menjadi profokator, penyebar hoax, penghina, dan pencaci maki di ruang publik –ruang yang mereka beri label demokrasi–. Hal ini jauh berbeda dengan topeng dalam animasi dan live action yang terlihat keren; menambah kesan misterius; atau bersifat simbolis. Ibarat hama, mereka adalah penyakit bagi tumbuhnya demokrasi.

Sebenarnya kehadiran ruang-ruang diskusi di medsos sudah membawa wajah baru dalam pilkada kali ini. Kita lebih leluasa mengemukakan gagasan mengenai sosok pemimpin yang diidam-idamkan. Kita dapat saling beradu gagasan dalam memenangkan paslon bupati masing-masing. Atau kita dapat menjadi pembaca setia. Sambil menyeruput kopi membaca gagasan-gagasan yang luar biasa di medsos. Terkadang senyum sendiri dan manggut-manggut memuji. Sangat menyenangkan bukan?

Tapi semuanya patah karena kehadiran orang-orang bertopeng. Gagasan berubah menjadi makian. Pujian berubah menjadi hinaan. Begitulah kiranya manusia berkehendak. Ketika kehendaknya menguasai orang-orang di sekitarnya, maka semuanya ikut berkehendak. Ketika semua orang berkehendak, hanyalah perang  yang terjadi. Ruang “bebas berpendapat” berubah menjadi “ruang bebas berkehendak”. Banyak orang menjadi berkoar demi kepentingan pribadi. Lalu, apakah demokrasi kita mengajarkan demikian?

Ingat? Musuh Spider-Man adalah dirinya sendiri. Ia harus melawan dirinya sendiri; meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mempunyai tanggung jawab besar dengan kekuatan yang dimiliki. Jika tidak bisa melawan dirinya sendiri, maka akan membawa malapetaka bagi banyak orang.

Pilkada telah menaruh tanggung jawab besar kepada kita semua. Jika kita betanggung jawab, maka yang terjadi hanyalah damai; kalah menang adalah milik bersama. Kita adalah orang-orang yang tetap duduk bersama setelah penghitungan suara. Tidak membangun tembok satu sama lain.

Orang-orang bertopeng layak disebut tidak bertanggung jawab. Mereka adalah orang-orang yang tetap menciptakan keresahan walau banyak orang telah berpesta karena pilkada berjalan sukses. Mereka adalah orang-orang yang tetap nyenyak dalam kehendaknya sendiri dan terus-menerus mempengaruhi orang lain.

Oleh karena itu, semoga kita yang tetap menang atas diri kita sendiri selalu bijaksana merespon segala informasi yang masuk dan menjadi pendamai di antara orang-orang bertopeng. Semoga momen pilkada kemarin menjadi pelajaran agar kita tidak lagi menjadi orang-orang bertopeng di kemudian hari.

Oleh Opin Sanjaya, Redaktur Idelando

Catatan: Tulisan ini telah dipublikasikan di Ngkiong.com. Ini sebagai bentuk dokumentasi dari penulis.

0 Komentar