Selama hidup, mereka harus terus menanam besi. Ketika mati, mereka harus menjadi pupuk agar tanah ini kembali menumbuhkan sekuncup bunga.

Idelando.com-Malahar berlari pada gurun bertanah retak. Pepohonan kering tak berdaun dan berdahan lapuk masih tampak berdiri pada beberapa titik, terpisah layaknya bidak catur laga puncak yang menunggu giliran tumbang. Suara bergeretak kian terdengar ketika angin membenturkan diri pada batang-batang pohon tua. Meski telapak kaki melepuh karena berlarian tanpa alas kaki, Malahar tetap bergegas menuju salah satu pohon yang masih bertahan di gurun itu. Seseorang sedang menunggunya di sana.

“Lihat, anak gila itu lagi-lagi pergi ke tanah mati,” demikian kata orang-orang di kampung ketika melihat Malahar berlari menuju gurun.

Malahar–bocah laki-laki itu memang sudah lama dianggap gila. Pada suatu hari ia membawa kisah yang tidak masuk akal ketika diminta bercerita di depan kelas. Katanya di tanah mati ada seorang perempuan bermain sasando sedang duduk di bawah pohon akasia tidak berdaun. Sejak kejadian itu kepala sekolah mengeluarkan Malahar dari sekolah karena dianggap kerasukan setan.

Bukannya jera, tingkahnya semakin menjadi. Malahar pergi ke tanah mati tanpa mengenal waktu. Pernah suatu kali kepala desa mencoba mengikuti Malahar ke tanah mati, namun badai debu menghapus jejak Malahar. Keberadaannya sama sekali tidak terlihat di tanah mati. Mereka hanya melihat hamparan gurun gersang dengan pepohonan layu dan debu terbawa angin tanpa arah. Namun keesokan harinya mereka akan mendapati Malahar pulang ke kampung dalam keadaan tubuh yang utuh. Tiada luka. Tiada linglung.

Biasanya orang-orang akan berjumpa dengan Malahar di tanah mati ketika tengah mengantar jenazah-jenazah dari bandara yang hendak dimakamkan. Malahar akan membuka setiap peti jenazah sampai seorang pendeta mengusirnya dengan tinju atau tendangan karena dianggap melecehkan orang mati. Biasanya Malahar masih terlihat di tengah upacara penghormatan jenazah, berdiri bersama warga lainnya. Namun ia kembali lenyap dari kerumunan pelayat usai upacara berakhir.

Meski awalnya orang-orang merasa prihatin, lambat laun mereka sama sekali abai. Orang-orang tiada lagi mengejar Malahar yang berlari menuju tanah mati bahkan ketika ia pergi saat malam menghidangkan bulan purnama dan gigil. Orang-orang kampung mungkin tidak akan merugi jika suatu hari mereka mendapati mayat Malahar tergeletak di hamparan tanah mati. Selama Malahar tidak mati di kampung, orang-orang tidak perlu repot untuk peduli dengan membuat perayaan duka bersama seperangkat ritus pemakaman yang menghabiskan waktu dan tenaga. Mereka cukup membiarkan mayatnya terurai di tanah mati dengan sendirinya.

Tanah mati–demikian orang-orang kampung menamai bekas sabana itu. Sabana tempat rerumputan subur dengan rombongan pohon akasia teduh pada beberapa titik, yang kini menjelma hamparan tanah gersang berdebu. Tiada lagi kuda-kuda liar yang singgah menyantap rumput atau berlari dengan surai berkibaran. Bangkai-bangkai kuda yang mati kelaparan berserakan di tanah tandus. Beberapa tulang kuda kadang kian porak-parik karena ulah angin. Kuda-kuda lain yang lebih beruntung mati dalam keadaan kenyang di tangan penjagal. Namun, entah bagaimana caranya, mati tetaplah mati.

Demikian mereka menyebutnya tanah mati. Hamparan sabana hijau ranggas di suatu hari bersama hujan yang tiada pernah tiba meski musim penghujan telah masuk kalkulasi para petani. Tanah itu makin keriput seiring matahari yang mengeringkan sungai, bendungan, laut, dan air mata. Tanah itu tiada lagi menumbuhkan rerumputan, pohon, dan sungai, melainkan menjadi penghasil duka dengan keserakahan sebagai pupuknya.

“Kawa! Orang-orang mati tiba di bandara! Sebentar lagi mereka akan sampai!” kata Malahar pada seorang perempuan yang tengah memetik sasando di atas sebatang dahan pohon yang kokoh namun tetap tiada daun di ujungnya.

Kawa melompat turun dari batang pohon tempatnya sedari tadi bersenandung. Matanya menatap jauh pemandangan di kejauhan, tepatnya ke arah kampung asal Malahar. Barisan cerobong asap dengan asap menguar di ujungnya tampak semakin bertambah. Asap-asap dari ujung cerobong mewarnai awan dan langit dengan warna kian kelam.

“Apakah mereka memasang lagi cerobong asap di kotamu, nak?” tanya Kawa.

Malahar mengangguk. “Tadi malam aku melihat tiga cerobong asap dipasang di halaman gereja, halaman rumah sakit, dan alun-alun kota,” jawabnya.

“Pantas langit bertambah buram. Ternyata manusia kian serakah.”

Kawa duduk bersandar di batang pohon yang masih kokoh meski tampak tua. Malahar ikut duduk di sebelahnya meski tidak menyandarkan punggungnya. Ia meminjam sasando milik Kawa dan mulai memetik nada-nada sumbang.

“Kawa, apakah kamu mau bercerita tentang orang tuaku?” tanya Malahar.

“Tentu. Aku mengenal baik mereka. Orang tuamu adalah seorang petani. Sawahmu dulu di sebelah sana,” Kawa menunjuk ke arah sebuah batang pohon tumbang. “Di sana adalah tempat padi-padi milik orang tuamu pernah tumbuh dengan subur.”

“Lalu mengapa mereka berhenti menanam padi?” tanya Malahar.

“Tanah ini sekarang lebih membutuhkan seorang budak dibanding seorang petani. Besi lebih mudah ditanam dibanding padi. Buktinya semalam mereka berhasil menumbuhkan tiga cerobong asap lagi, bukan?”

Malahar mengangguk dan kini menunduk.

“Kapan papa dan mama pulang? Apa mereka juga akan pulang dalam keadaan mati?” tanya Malahar dengan setitik air mata yang menetes pada pipinya.

“Orang tuamu tidak akan pulang sebelum mati, Malahar. Selama hidup, mereka harus terus menanam besi. Ketika mati, mereka harus menjadi pupuk agar tanah ini kembali menumbuhkan sekuncup bunga. Namun tanah yang dipupuk kebencian dan kesedihan hanya akan menumbuhkan dendam yang membuat tempat ini semakin terkutuk,” kata Kawa.

Pandangan Malahar langsung tertuju pada kerumunan yang berjalan beriringan. Mereka adalah rombongan pelayat dan para petugas pemakaman. Peti-peti jenazah yang dipanggul tampak timbul di atas kerumunan. Berbaris dan merayap perlahan layaknya bangkai kecoa yang diangkut oleh koloni semut. Malahar langsung berlari menghampiri kerumunan pelayat itu.

Sesampainya di sana, ia langsung membuka satu per satu peti yang berjumlah empat buah. Entah harus sedih atau senang ketika Malahar mendapati bahwa tidak ada papa atau mamanya yang terbaring pada salah satu peti itu. Ia harus senang karena setidaknya orang tuanya belum mati. Namun ia juga merasa sedih karena penderitaan orang tuanya di tempat kerja masih bersambung.

“Pergi anak setan! Masih saja kau kurang ajar dengan orang yang sudah meninggal!” hardik pendeta sambil menendang Malahar.

Malahar mundur mendekati kerumunan pelayat. Ia terkejut ketika seorang perempuan dari rombongan pelayat menyentuh pundaknya.

“Kau dari mana, Malahar?” tanya perempuan itu.

“Duduk di sana bersama Kawa,” jawab Malahar sambil menunjuk ke arah pohon tempat Kawa sedang duduk sambil memainkan sasando miliknya.

Namun perempuan yang menyapa Malahar hanya mendapati pohon akasia tua bergeretak karena hembus angin, tanpa melihat perempuan yang disebut dengan nama Kawa. Perempuan itu lantas pergi menjauh sambil mengamini dalam hati bahwa Malahar memang gila atau kerasukan setan.

Kutoarjo, 21 Oktober 2021


Penulis: Kristophorus Divinanto–Lahir di pesisir pantai selatan Jawa, kota Cilacap, Jawa Tengah. Kegiatan menulis dilakukan di tengah rutinitas menemani siswa sekolah dasar belajar dan membaca manga. Pemilik akun Instagram @durungmestibenerNarahubung: 085869696258

0 Komentar