Ilustrasi: Rudi Herwanto
Mama 

Mama, bukan lagi aku ketika bunga ini
tak sampai ke alam kekalmu
Jangan asingkan ragaku ketika memeluk jiwamu
saat jangkrik bernyanyi di kegelapan
Bukan lagi aku ketika mimpimu tak disulam
seperti kau menerima ocehanku saat kecil
Zaman yang menurutmu tidak lagi dijalani masa itu
Rasanya ingin lari dan tidak kembali ketika melihat
pesonamu dibalut dengan lekatan putih
Mama, bukan lagi aku ketika tidak melepaskan
dengan tulus saat Dia memecatmu dari bakti
yang layak kau sempurnakan dengan caramu
Kau pun ikhlas menerimanya
hingga tugasmu berakhir luka
Percayalah, aku akan membujuk usiaku
untuk tetap bertahan agar mimpimu terjawab
melalui keringatku di kemudian hari

Kepada Tuhan
(rindu mama)

Deringkan hati dan jiwaku
ketika aku lesu
Ajarkan aku menyadari
bahwa cinta mengenal perjanjian
serta mampu melihat di setiap tindakannya
Aku percaya damai-Mu dalam heningku
sehingga aku tak pernah merasa sendiri
Kutitip nyawaku pada-Mu
Di setiap ujudku kusisipkan sebuah tanda
Biarlah tanda itu selalu memeluk erat
segala keluhan dari kami anak-anaknya
Biarlah cintanya tetap utuh dan subur
walau kini raganya tak bersama kami
Engkau pun perbolehkan kami 
untuk saling berkunjung
melalui bunga tidur dan doa
Terima kasih atas tanda
yang membawa damai hati
meskipun pada akhirnya melukai hati
Terima kasih untuk rahasia
yang engkau sembunyikan pada waktu
Engkau pisahkan kami dengan cara yang sakit
Namun, kusadari
keputusan-Mu sangat berharga
Akhirnya kupuji kebesaran-Mu
hingga waktu tak akan bosan memapahku
tuk setia berjalan bersama-Mu

Menit Bisu

Ketika bual tak mampu memeluk rasa
raga seakan terhempas di tebing kerinduan
jiwa tak kuasa menahan sendu
Ratapan sajak ini gagal mengukir parasmu
kepada siapa aku bisa singgung?
sedang malaikat malu menyapaku
Rintikan hujan menemani tiap hela nafasku
badai mencekam ribuan helai rambut pohon
Hamparan kota terpancar 
tiada hendaki rasa bersahut
Ruang ini penuh gema bisu
hanya ada deruan dari gadis berambut keriting
menanti seorang sosok indah kian lama
Tiupan angin mencoba bercumbu
tak kunjung reda
Aku masih di sini menunggu suaramu

Sesobek Sajak

Malam mengayunkan pohon cantik
seribu kata jatuh tak tentu arah
antara pertanyaan dan rindu
Siapa?
tanya dia
Sesekali aku merunduk
sembari menjahit jarak
Antara pasti dan mungkin
ada yang sedang mengintip
Siapa?
tanya dia
Waktu kadang kala tak perduli
tentang jarak yang tak lagi bijak
Entalah, cukup diam dan resa
antara jejak dan bimbang

(tanpa judul)

Hari ini telah menjadi rintik-rintik rindu
dari sisa rintik-rintik hujan
yang kamarin kita nikmati

(tanpa judul)

Tuhan...
memujamu adalah cara yang terindah
ketimbang memuja waktu
yang kadang lelah untuk dikejar.

9-2-19

Kasih I

Pada matamu kulihat terdapat seberkas kasih
membening tanpa beku
Pejamlah sebentar
Aku akan mengusapnya
hingga kasih itu terlelap dalam bibirku
Aku mengasihi matamu
yang esok akan menjadi sangkar
tempatku berteduh
Kuharap aku tidak jadi yang dikenang untukmu
tapi mengenang bersamamu
Kita pun saling mendekap kisah
tanpa harus menghitung jarak
karena aku takan mengelak
Hari ini kau dalam kasihku

14-2-19

Kasih II

Kita hanya perlu menempuh jalan yang damai
seperti merpati yang kerap kali menenangkan badai
meski jatuh berkali-kali
Meski di sela-sela itu kita sempat berpaling
tapi cinta tak pernah kehilangan ketabahan
Seperti kesetiaan sayap merpati
yang menggelepar tak berkesudahan

Kasih
ketakutan, kecemasan dan kepahitan
akan lelap bersama malam yang panjang
karena cinta mampu mengendalikan segalanya
Kita hanya perlu memungut kisah
sekalipun takdir memimpikan tuk berpisah
Namun kita di bawah atap yang sama
memeluk harapan sembari bercengkerama

Kasih
kita hanya perlu menjadi hujan
yang selalu ditunggu untuk bersua
Saat kita berjauhan
kita tak pernah menyerah
Saat hujan, kita saling mengenang
menyulam rindu sepanjang hayat
Meski sama-sama terluka
waktu tak menjanjikan duka

Kasih
kita telah menjadi angin di ranting-ranting rindu
Yakinlah
cinta kita tetap berhembus

Jejak

Pernah sesekali setapak itu
menjadi tumpangan jejak kita.
Gerimis hujan berkali-kali menyelinap
di sela-sela kabut yang masih memucat.
Pada langit, kita menaruh mimpi,
dan diselendangkan oleh sajak yang dijanjikan.
Meski mendung tak kunjung menepi,
kita tak lelah berjalan di bawah rintik hujan yang berguguran.

Biarkan cinta terpahat,
tanpa dilekang zaman
dari musim ke musim.
Biarkan jejak itu mengeram lelap,
dan tak lenyap bersama samar kabut.
Namun jika jarak hendak berpaling,
kita pun tak lagi saling bertatapan.
Berdoalah!
Meski jejak itu tak pulang-pulang.
Tetapi, ingatlah!
Kita tak saling kehilangan.
Aku mencintaimu.

9-2-19

Penulis: Ferdiana Wawung. Biasa dipanggil Dian. Guru di SMAN 1 Ndoso, Kabupaten Manggarai Barat. Habi menulis puisi di memo handphone

0 Komentar