Idelando-Tadi malam, listrik di tempat tinggal saya tiba-tiba padam. Mungkin sedang jadwal padam atau ada kerusakan, saya kurang tahu. Awalnya, saya merasa biasa saja dengan keadaan itu, karena saya melihat arus handphone saya masih bisa bertahan sampai listrik kembali menyala. Kami sekeluarga duduk di ruang tengah dengan keadaan sedang memandang layar handphone masing-masing dan terlihat asyik dengan isi handphone. Seperti tidak terjadi apa-apa ketika tiba-tiba gelap, tetapi sesekali di antara kami menceletuk "lama sekali listriknya nyala" kemudian kembali memaku pandangan ke layar handphone masing-masing.

Listrik tak kunjung nyala. Arus handphone saya tinggal 1%. Kurang dari 5 menit pasti handphone saya mati dan benar saja. Rasa bosan mulai muncul, tidak tahu harus berbuat apa di tengah kegelapan. Saya pun berinisiatif mencari lilin. Saya menyalakan lilin sambil terus mengeluh dengan listrik yang tak kunjung nyala. Saya juga tidak mau tidur dan terus menunggu listrik menyala karena ada beberapa tontonan yang harus saya selesaikan di handphone saya.

Baca juga: Tujuh Hal Receh yang Mungkin Terjadi Jika Sekolah Mulai Pukul 05.00

Semakin lama rasa bosan makin menjadi. Tetiba ingatan saya flashback ke tahun 2010 hingga 2012. Saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Masa belum mengenal handphone, internet, browsing dan tontonan online. Bukan hanya saya, anggota keluarga saya pun demikian. Yang kami tahu handphone hanya untuk bertelepon dan SMS, tak secanggih zaman sekarang.

Ada satu momen dalam ingatan yang membuat saya merasa perubahan teknologi dari masa ke masa terkadang buat kita malah jauh dari keluarga meskipun kita sedang duduk berdampingan. Dulu, ketika listrik padam, mama langsung bergegas mencari lilin atau pun lampu sumbu dengan media kaleng susu bekas yang berisikan minyak tanah. Kami sebut itu dengan "lampu pelita". Kami sekeluarga duduk berdampingan dan saling menatap ke arah cahaya lilin tanpa handphone atau hiburan elektronik lainnya. Mama mulai bercerita. Dongeng andalan mulai dia keluarkan. Kami khusyuk mendengar mama berdongeng. Mama yang sangat asyik kala itu. Sesekali bapa melempar candaan yang mencairkan suasana di tengah dongeng mama yang sedikit mencekam. Dongeng andalan mama ketika listrik padam selalu berkaitan dengan hal-hal horor dan mistis. Dalam keadaan seperti itu mama adalah pendongeng yang handal. Seandainya saat itu saya sudah mengenal blog, cerita-cerita mama pasti sudah saya abadikan.

Baca juga: List Lagu Galau tetapi Maskulis Ala Idelando

Suasananya hangat sekali. Tanpa handphone. Hanya mama dengan dongengnya dan bapa dengan candaannya. Sungguh indah hidup tanpa handphone saat itu. Kita selalu merasa dekat dengan keluarga. Bahkan saya selalu berharap agar tiap malam listrik padam, sehingga saya dapat mendengarkan mama berdongeng.

Dulu, mendengarkan dongeng adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu, karena selalu berawal dari tragedi dan berakhir dengan kebahagiaan. Entah kenapa, saat mendengarkan dongeng, kita merasa dekat sekaligus kehilangan seperti dalam cerita. Yang membuat kita kadang spontan memeluk kedua orang tua kita ketika mendengarkan dongeng. Kemudian, kita menemukan kembali kebahagiaan seperti dalam cerita. Dan itulah yang kita cari waktu kecil. Kebahagiaan.

Tentu saja dongeng mama masih relevan pada zaman sekarang, tetapi tidak lagi untuk usia saya sekarang ini. Dongeng yang dulu terasa mencekam, justru kini terdengar lucu. Cara berpikir kita yang semakin terbuka juga berpengaruh dengan cara kita menghayati sebuah dongeng. Namun, sebaiknya mama terus mendongeng, karena dengan itu anak-anak zaman ini akan berpikir bahwa hiburan tak cuma diperoleh dari handphone dan hiburan elktronik lainnya.

Saat ini, tiap kali listrik padam saat malam dan arus handphone saya habis, saya selalu flashback ke tahun-tahun di mana usia saya masih terbilang anak-anak dengan hidup yang santai, pikiran tak seruwet sekarang dan yang ada di kepala hanya "besok main di mana em". Namun, satu hal yang tidak saya inginkan dari ingatan saya, yaitu ke suatu momen di mana saya daftar akun Facebook dan memberi keterangan bekerja di "PT MENCARI CINTA SEJATI" dan menjadi manajer di "REAL MADRID C.F". Sumpah memalukan sekali.

Penulis: Rudi Herwanto

0 Komentar