Idelando-Aku tidak pernah menyesal dengan apa yang aku lakukan, sekalipun itu membuatku sakit hati. Aku tidak lagi menyibukkan diri dengan menunggu kabar darimu, sekalipun dulu aku selalu mencemaskanmu. Semuanya berubah, semuanya berbeda. Padahal dulu kita begitu dekat, begitu akrab layaknya kedekatan seorang ayah dengan anak pada umumnya. Sampai-sampai apa yang kau inginkan aku belikan meskipun aku harus merasakan lelah terlebih dahulu. Kami benar-benar dekat, bahkan tidak ada yang berharap untuk pergi menuju liang kubur duluan. Kami sepakat untuk sama-sama membenci perpisahan, tapi kekecewaan membuat semuanya mungkin.

Sekarang kami dilatih untuk mencintai perpisahan. Aku ke jalan yang berbeda dan kau ke jalan menuju Tuhan akhir dari kehidupan. Keinginan untuk bertemu tidak akan pernah terjadi lagi, itu seperti mustahil, seperti melawan takdir.

*** 

Jika aku duduk sendirian di depan teras rumah, aku selalu ingat setiap hal yang terjadi pada Monica. Semuanya terekam begitu jelas dalam memori kepalaku. Aku begitu ingat, setiap liburan kuliah datang aku selalu meminta Monica pulang. Merayakan pertemuan dan membayar semua rindu yang selama ini terpendam. Jika aku memintanya pulang, Monica selalu bersedia tanpa ada alasan menolak. Monica paham bahwa rindu untuk bertemu semakin membara itu berarti pertemuan harus dilakukan. Maklum, perasaan cemas selalu menghantuiku sebagai seorang ayah kepada anak gadisnya.

Setiap kali Monica pulang libur, ia selalu kuajak untuk duduk berdua di ruangan keluarga. Monica begitu paham jika aku mengajaknya demikian, berarti aku haus akan pertemuan dan menolak adalah pilihan yang mustahil. Di ruangan keluarga, kami benar-benar berbicara sebagai ayah yang merindukan kepulangan anaknya. Sekalipun lama Monica tidak pernah memarahiku, karena ia tahu bahwa kami hanya berjumpa ketika liburan saja.

Aku ingat dengan benar, pernah aku dan Monica bercerita berjam-jam hingga larut malam di ruangan keluarga. Kami seolah mengabaikan waktu yang membatasi percakapan kami. Aku terus berbicara sambil memegang rokok di tangan kiri juga sesekali di tengah percakapan aku menulis puisi. Sementara Monica sibuk dengan ponsel barunya.

“Bagaimana dengan kuliahmu? Apakah semuanya berjalan dengan lancar?” Aku memilih memecahkan keheningan dengan memulai pembicaraan sambil menyeruput kopi.

Spontan Monica meletakkan ponselnya dan menoleh kearahku.

“Selama ini kuliahku berjalan dengan lancar Ayah, sama sekali tidak ada hambatan. Ayah tidak perlu mencemaskanku.” jawab Monica berusaha meyakinkan diriku.

“syukurlah, Ayah senang mendengarnya.” balasku sambil menulis puisi. Mendengar Monica berkata demikian membuat perasaan lega mengalir dalam diriku.

“Ayah selalu berharap kamu selalu serius dengan kuliahmu. Ingat, kita datang dari keluarga sederhana. Satu-satunya hal yang merubah kita untuk mencapai kesuksesan  adalah pendidikan, makanya Ayah tidak akan pernah bosan untuk selalu mengingatkanmu. Ingat kita tidak memiliki apa-apa. Namun ayah akan berusaha untuk selalu membiayai kuliahmu.’’ lanjutku dengan tegas.

“Baik Yah, aku akan serius dengan kuliahku. Aku akan menjadi orang yang sukses seperti impian Ayah. Aku janji.” jawab Monica sambil tersenyum kepadaku.

“Monica lihat sekarang Ayah suka menulis puisi. Bolehkah aku membaca puisi-puisi Ayah?’’ lanjut Monica sambil memohon kepadaku.

Aku tidak berani menolak keinginannya untuk membaca puisiku. Bahkan tidak ada alasan bagiku untuk menolak permintaannya.

“Tentu saja boleh.’’ jawabku singkat sambil memberikan buku puisi itu kepada Monica.

Monica terlihat begitu serius ketika membaca puisi-puisiku. Ia terus membuka halaman demi halaman dan terus memperhatikan kata demi kata pada buku yang kutulis. Saat-saat seperti ini sedikit pun aku tak berani untuk mengganggu dirinya. Aku hanya membiarkannya untuk tenggelam bersama puisi-puisiku.

"Puisi-puisinya bagus, Yah. Kata-katanya juga indah dan penuh makna.” kata Monica, memuji tulisanku sambil tersenyum.

Aku terus melihat wajah indahnya. Ia begitu cantik sama seperti almarhum ibunya. Aku berharap senyumnya akan terus seperti ini.

“Terima kasih.” jawabku dengan singkat sembari mengambil buku puisi yang dipinjam oleh Monica tadi.

Mengapa Ayah begitu senang menulis puisi? “Tanya Monica, begitu penasaran dan kebingungan denganku.

“Ketika menulis puisi Ayah merasakan ada hal yang berbeda mengalir dalam diri ayah. Ayah seakan diberi suntikan ketenangan dan memperluas wawasan. Selain itu ayah bisa mengekspresikan isi hati Ayah dan menyampaikan suatu hal yang tidak bisa dikatakan secara langsung. Sederhananya apa yang dirasa di dalam dada, itu yang dituangkan ke dalam kata-kata. Puisi adalah cerminan dari isi hati. Kira-kira begitu, itu sebabnya ayah begitu senang menulis puisi.’’aku berusaha menjelaskan panjang lebar kepada Monica.

‘’Kamu paham apa yang dijelaskan oleh Ayah barusan?” lanjutku bertanya kepada Monica.

‘’Aku paham Yah. Ayah keren. Aku suka puisi-puisi Ayah.’’ balas Monica kepadaku.

Kami terus bercerita tentang kesibukkan kami masing-masing. Tidak lupa pula di sela percakapan, aku terus menanyakan kuliahnya selama ini. Mulai dari tugas kuliah, relasi dengan teman-temannya hingga aku menanyakan rencana apa yang akan dilakukan Monica setelah lulus nanti. Bahkan sampai akarnya pun, semua hal yang menyangkut dunia perkuliahan aku tanyakan kepada Monica. Karena bagiku pendidikan adalah hal yang utama untuknya. Maka dari itu, aku terus berusaha untuk membiayai kuliah Monica bagaimana pun caranya.

Tidak lupa pula, aku juga menceritakan perkembangan naskah puisiku. Aku terus membayangkan jika nanti naskah puisiku dicetak dan dijadikan buku, mungkin aku akan menjadi orang paling bahagia sedunia. Lebih-lebih jika nanti buku puisiku diletakkan bersebelahan dengan karya sastrawan terkenal sebut saja Aan Masyur, Joko Pinurbo dan sastrawan lainnya. Kami terus bercerita bahkan masing-masing di antara kami tidak ada yang mengalah dan berhenti bercerita.

“Ayah kepalaku pusing, badanku tiba-tiba lemah, rasanya aku ingin muntah sekarang.”  kata Monica sambil menahan kesakitan.

Spontan aku langsung melangkah ke arahnya. Aku kepikiran dengan apa yang terjadi pada Monica. Kecemasanku tiba-tiba meningkat dan aku takut akan terjadi sesuatu pada Monica. Sialan. Apakah ini murni kesalahanku, aku terus bertanya kepada diriku. Aku benar-benar mencemaskan Monica. Tidak biasanya ia seperti ini. Aku begitu bingung dengan apa yang dialami Monica sebab dari awal percakapan ia terlihat begitu sehat, seolah tidak terjadi apa-apa dengannya.

“Ayo kita kerumah sakit, sekarang.” kataku kepada Monica sambil aku mempersiapkan kendaraan untuk keberangkatan kami.

Monica hanya mengangguk mengisyaratkan bahwa ia ingin ke rumah sakit. Ia tidak banyak bicara seolah kata tidak berguna. Di jalan menuju tempat tujuan aku berusaha menaikan kecepatan kendaraan roda dua ku. Aku begitu cemas dengan keadaan monica. Semakin aku menaikkan kecepatan, rumah sakit semakin kelihatan dari kejauhan. Aku memilih untuk menurunkan kecepatan dan memarkir kendaraanku sesuai pentunjuk satpam.

Tepat di depan pintu rumah sakit, aku dan Monica sama-sama bersih keras untuk tidak memulai percakapan. Aku lebih banyak diam dan lebih memilih meperhatikan keadaan Monica. Aku terus meneteskan air mata sambil melangkah masuk ke dalam rumah sakit bersama monica.

‘’Dokter, tolong usahakan yang terbaik untuk keselamatan Monica.” kataku kepada dokter yang menangani Monica.

‘’Itu pasti, kami akan berusaha sebaik mungkin. Selebihnya hanya semesta yang bekerja.’’ kata dokter sambil bergegas masuk ke ruangan pemeriksaan bersama Monica.

Aku memilih untuk menunggu di luar ruangan, sesuai arahan dokter. Di luar ruangan, sebisa mungkin aku menenangkan diri dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Sebagai seorang Ayah, perasaan cemas memang selalu menghantuiku. Aku lebih memilih untuk terus menunggu kabar dari dokter yang menangani Monica. Tiga puluh menit sudah berlalu, sama sekali tidak ada tanda-tanda tentang keadaan Monica. Aku semakin mencemaskan keadaan Monica.

“Semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dicemaskan dari Monica. Monica hanya perlu istirahat yang cukup.’’ kata dokter sambil melangkah kearahku.

Perasaan lega mengalir penuh dalam tubuhku ketika mendengar kabar dari dokter yang menangani Monica. Perasaan cemas tidak ada lagi. Aku tidak lagi menangis, air mata seperti berhenti membasahi  pipi. Aku semakin yakin Monica memang baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dicemaskan. Jujur aku bahagia

‘’Syukurlah Dok.” kataku kepada Dokter sambil membalikan badan melangkah menuju ruangan Monica.

Belum beberapa langkah menuju ruangan Monica, Dokter memanggilku lagi. Kali ini aku yakin pasti dokter akan menyarankanku untuk membeli makanan atau buah-buahan untuk Monica.

“Oh iya, ingatkan Monica agar selalu menjaga pola makan dan utamakan istirahat. Sekarang Monica baik baik-baik saja. Aku hampir lupa untuk memberikan surat keterangan hasil pemeriksaan Monica. Untung aku diingatkan oleh suster yang melayani Monica. Ambilah.” Kata dokter sambil memberikan surat itu kepadaku.

Aku tidak ada pilihan lain selain menerima surat itu, selebihnya aku memilih untuk membaca surat itu ketika tiba di rumah. Sekarang aku fokus melihat keadaan Monica.

“Sekarang masuk dan lihat keadaan anakmu.” lanjut dokter sebelum ia benar benar meninggalkanku untuk pergi.

“Syukurlah keadaanmu baik-baik saja, Nak. Kamu hanya perlu istirahat yang cukup dan Dokter juga memperbolehkanmu untuk bisa pulang sekarang. Sekarang kamu siap-siap, karena sebentar lagi kita akan pulang ke rumah. Ayah akan menyiapkan kendaraan untuk kepulangan kita.” kataku ketika aku bertemu Monica di dalam ruangan.

“Baik Yah. Aku siap-siap dulu.” jawab Monica singkat.

Aku begitu legah setelah mengetahui keadaan Monica baik-baik saja. Berarti tidak ada lagi yang perlu dicemaskan. Sebentar lagi kami akan pulang tapi aku sama sekali belum membuka isi surat yang diberikan Dokter kepadaku. Sejujurnya aku begitu penasaran dengan isi surat itu tapi aku masih bersih keras untuk tidak membacanya sekarang, melainkan ketika aku tiba di rumah. 

***  

Aku juga ingat, kepulangan ku dari rumah sakit malam itu adalah pertemuan terakhir sekaligus merayakan perpisahan bersama Monica. Itu sekitar 12 tahun lalu sebelum aku hidup dibalik jeruji besi. 12 tahun juga menjadi waktu yang lama untuk mengingat semua kejadian naas itu.

Sore ini aku berniat berziarah ke pemakaman Monica untuk pertama kalinya setelah 12 tahun lamanya. Aku memilih untuk pergi sendiri sambil membawa buku puisiku. Tidak lupa, aku juga membelikan bunga sekaligus lilin untuk keperluan doaku nanti. Perjalanan dari rumah tempat aku tinggal menuju pemakaman Monica cukup memakan waktu yang lama dan aku baru tiba tepat pukul 15:00 sore. Sampai pemakaman aku tidak melakukan kesibukan apa-apa selain membersihkan pemakaman dan menyiapkan diri untuk berdoa.

Sebelum aku benar-benar berdoa, aku menatap lama-lama makam Monica. Jika saja dulu Monica fokus kuliah dan mengejar cita-citanya mungkin hubungan Monica akan baik-baik saja seperti hubungan ayah dan anak pada umumnya. Tapi aku terlanjur kecewa dengan apa yang Monica lakukan kepadaku. Aku banting tulang, kerja dari pagi sampai larut malam berharap Monica mendapat gelar sarjana tetapi ia membalas semua keringatku dengan kehamilannya. Aku benar-benar kecewa sebagai seorang Ayah. Monica sama sekali tidak menghargai kerja kerasku untuk menyekolahkan dirinya, sama sekali tidak.

Aku benar-benar kecewa. Sampai-sampai hal yang semestinya tidak pantas dilakukan sesorang ayah kepada anaknya pada akhirnya menjadi mungkin. Setelah kepulanganku bersama Monica dari rumah sakit, aku benar-benar sakit hati dan kecewa. Kekecewaanku memuncak ketika aku membaca isi surat keterangan pemeriksaan yang diberikan dokter kepadaku yang menyatakan bahwa Monica positif hamil. Setelah membaca surat itu aku bertanya panjang lebar kepada Monica dan pada akhirnya Monica membenarkan isi dari surat itu. Aku juga menanyakan prihal siapa ayah dari anak yang dikandung oleh Monica tetapi pertanyaanku sama sekali tidak dijawab oleh Monica. Aku mencoba bertanya soal uang kuliah yang kukirim, tetapi Monica malah menjawab uang kuliah itu ia habiskan untuk membeli pakaian dan segala keperluan untuk mempercantik dirinya. Selebihnya ia gunakan untuk menyewa laki-laki untuk memuaskan hasratnya. Belakangan aku baru tahu dari teman-temannya bahwa Monica tidak pernah kuliah.

Sumpah aku benar-benar kecewa sampai-sampai aku memberanikan diri untuk menghabisi nyawa Monica. Benar, aku membunuh anak kandungku sendiri. Setelah kejadian itu kami benar-benar bepisah lama dan abadi. Aku hidup di penjara selama 12 tahun atas kasus pembunuhan, sedangkan Monica hidup bersama Tuhan. Aku sakit hati dengan apa yang ia lakukan kepadaku. Aku seperti diberi racun oleh anakku sendiri. Aku beri hati ia balas aku dengan duri. Sungguh sebagai seorang Ayah aku benar-benar sakit hati. Sama sekali Monica tidak pernah menghargai perjuanganku sebagai ayah.

Sebelum meninggalkan pemakaman Monica dan ibunya sore ini, aku berniat untuk menuliskan puisi untuk Monica. Puisi ini akan kuletakkan di halaman terakhir jika nanti naskah-naskahku ini dijadikan buku puisi. Dan di halaman terakhir itu akan ku beri judul: KEPADA MONICA

‘’Di tanah rantau kau mengabaikan harapanku.

Aku di sini banting tulang kau di sana bersenang-senang.

Tubuh kau jual murah kepada orang-orang.

Terkadang kebaikan akan berakhir dengan kepedihan."

‘’Semoga kau tenang di alam sana bersama Tuhan.” kataku sebelum aku benar-benar meninggalkan pemakaman.

Penulis: Antonio Nagur

0 Komentar