Lelaki di Puncak Golo Curu

Dari puncak Golo Curu lelaki itu memandang kota Ruteng. Kota dingin tempat segalanya dimulai. Tak ada satu pun luput dari matanya, meskipun yang tampak hanya cahaya lampu, kecuali sisa-sisa kenangan yang masih hidup dalam pikiran.

Seketika lelaki itu menutup mata. Kemudian, dalam imajinasinya, ia merajut kembali kenangan dengan kekasihnya. Kisahnya sedikit ia modifikasi. Tak lama kemudian, air matanya luruh satu demi satu, karena rasanya tak lagi sama.

Karena masih ragu dengan hatinya, lelaki itu pun kembali mengenang ketika sering ia dan kekasihnya ke Golo Curu. Masih ia ingat bagaimana kekasihnya bermanja-manja dengannya. Ingin segera ia pulang ke sana, tapi jalan mereka tak lagi sama.

Kemudian ia memeluk udara yang menjelma menjadi wanitanya itu. Digandengnya wanita itu menyusuri tepi Golo Curu, tetapi tetap saja, rasanya tak lagi sama. Lalu ia memutuskan segera pulang. Di dalam hatinya ia bertanya-tanya: di manakah di dalam kota ini yang tak membekas tentang kita?

2018

Sepatumu

Kau bertanya: kenapa?
Saat aku tersenyum.
Sepatumu akan mendengar setiap sapa
Saat melangkah setapak demi setapak.

2018

Tas

Di tasmu ada banyak buku cinta kasih.
Kau mengeluh saat memikulnya.
Tapi kau tak pernah mendengar,
Seberapa berat tasmu memikul buku-bukumu.

2018

Tanah

Kakimu lupa padanya.
Setidaknya kau relakan tanganmu.

2018

Foto

Di dalam foto rumput-rumput tak pernah kering;
Daun-daun tak pernah kecoklatan;
Pohon-pohon tak pernah tumbang;
Bunga-bunga tak pernah layu;
Dan senyum tak pernah menjadi merengut.
Meski waktu sekian lama berlalu.
Kau tak perlu bertanya: kenapa?
Foto bertarung dengan waktu.
Ia sedang merawat kenangan:
Rumput hijau yang menghias pandanganmu;
Daun-daun yang memberi teduh untukmu;
Pohon-pohon yang menjadi sandaranmu;
Bunga mekar indah yang menghiasi matamu;
dan senyum yang engkau sukai dulu.

2018

Jam

Saat pagi kau tengok;
Saat siang kau tengok;
Saat malam juga kau tengok.
Jam tak pernah lelah mengukur waktu untukmu.
Lalu, kenapa kau selalu lelah dalam waktu?
Ya, karena kau hanya menengok.

Saat Senja

Kudengar hujan tak lagi mengetuk atap gedung bercat putih itu.
Aku pun melangkah di antara kaki-kaki kursi yang berbaris di situ.
Kulihat genangan air berserakan di jalanan dan membasahi hamparan rumput,
indah bagai intan permata.
Langakahku semakin laju, tersentulah daun nan hijau, seakan meminta dibelai.
Surya menyibak siang dan malam, hilang di sela-sela dedaunan, berpulang pada kediaman.
Merah di ujung sana, 
bercak-bercak kegelapan mulai menggores, ruang nampak suram dalam pandangan.
Di ujung sana terlintas bayangan, 
menampakkan senyum manis membuat hati menjerit, 
membuka mata yang suram.
Semua terjadi hanya keanggunanmu. 
Bertahap, tapi pasti, 
kau melambaikan tangan, berderap melangkahkan kaki, 
semua mata memandangmu
seakan memujamu. 
Terpancar sinar dari matamu, 
suatu kesejukan bagi hatiku.
Kau sangat polos, 
kudengar bicaramu lembut, 
aku pun mulai sayang, 
hingga merasakan getaran kasih.

2016

Penulis: Opin Sanjaya

0 Komentar