"Maen layang de"

"Eng ga, gereng cekoen e"

Seorang bocah berlari kecil menuju lapangan sambil membawa layang-layang burung. Waktu itu tempat kami bermain adalah lapangan bola Sekolah Bintang Timur. Lima belas tahun lalu, sebelum di lapangan itu berdiri kokoh gedung kelas. Layang-layang terbang tinggi di langit Ponceng-Tenda seperti mimpi-mimpi bocah sepuluh tahun. Bocah-bocah yang belum mengenal sepi, cemas, khawatir, dan bimbang. Bocah yang hanya ingin bermain.

Kalau bulan Juni begini, lapangan sekolah Bintang Timur sangat berdebu. Namun, bocah kecil tidak pernah peduli setebal apa debu menempel di muka, seganas apa debu membuat mata kelilipan, setega apa debu masuk ke hidung hingga menyebabkan batuk dan flu. Yang penting hari itu bisa beradu layangan sambil membanggakan kualitas benang masing-masing. Jika layang-layang putus akan dikejar rame-rame. Namun, tidak ada kata tolong-menolong, yang ada sebuah kompetisi. Siapa yang berhasil menemukan layang-layang, maka layang-layang itu akan menjadi miliknya. Tanpa disadari, kala itu bocah kecil sudah belajar arti sebuah persaingan atau perjuangan untuk mendapatkan hal yang didamba-dambakan dalam hidup. Atau yang sederhana, belajar galau ketika gagal atau kehilangan.

Hari ini ketika sedang duduk santai di terus rumah, saya melihat tiga layang-layang sedang terbang tenang di langit Ponceng. Bocah-bocah melepasnya dari halaman sekolah Bintang Timur. Ada perasaan senang yang muncul, karena masih ada anak-anak yang bermain layang-layang. Ingin sekali kembali ke sana, tetapi sayang semua teman sudah beristri, eh salah. Maksud saya fokus hidup bukan lagi di sana. Ada hal rumit yang sangat penting untuk dipikirkan sekarang.

Pada zaman yang serba instan ini, minat anak-anak pada permainan tradisional sudah memudar. Anak-anak lebih berminat pada permainan online yang mudah diakses. Bahkan permainan tradisional sudah ada dalam bentuk game online. Bagi generasi kami permainan seperti itu kesenangannya tidak kesampaian, tetapi anak-anak sekarang senang. Generasi sekarang adalah generasi instan. Dunia anak sekarang kehilangan ruang kreatifitas. Mereka tidak mengenal usaha bagaimana hanya dari sebatang bambu bisa menghasilkan layang-layang dengan berbagai bentuk. Mereka tidak mengenal perjuangan turun ke kali demi mendapatkan bambu yang pas untuk membuat layang-layang. 

Kini permainan tradisional sudah menjadi hal asing yang hanya ada di buku paket pelajaran di sekolah. Yang nama, teknik bermain, dan teknik membuat harus dihafal supaya bisa menjawab pilihan ganda waktu ujian. Seharusnya permainan tradisional menjadi bagian dari (cerita) hidup anak-anak. Terutama dalam perjalanan tumbuh kembangnya, karena ada nilai dan norma yang tertanam di dalamnya. Kondisi ini tidak dapat dielakkan, setidaknya ada usaha dari kita semua agar anak-anak sekarang mengenal jenis-jenis permainan tradisional.

Kehilangan Tempat Bermain

Penyebab lain memudarnya minat anak-anak pada permainan tradisional adalah hilangnya tempat bermain. Semua permainan tradisional membutuhkan tempat yang cukup luas agar anak-anak bisa bermain leluasa. Namun, dituntut kebutuhan hidup, di lapangan yang dulu menjadi tempat bermain sudah berdiri kokoh gedung sekolah dan rumah pemilik tanah. Hampir tidak ada lagi ruang untuk anak-anak bermain dengan gembira. Hanya ada halaman rumah sempit tempat anak-anak tunduk bermain game online tanpa memedulikan satu sama lain.

Dulu selain lapangan, halaman rumah juga menjadi tempat bermain. Keramaian anak-anak bermain di halaman rumah waktu sore adalah hiburan bagi pemilik rumah. Namun, semakin ke sini rumah-rumah hampir tidak memiliki halaman yang cukup karena desakan hidup. Orang-orang mulai memikirkan cara bagaimana mengembangkan hidup, seperti membuka kios atau menanam sayuran. Dengan begitu, kenyamanan hidup juga sudah menjadi kebutuhan yang mendesak, sehingga rumah dipagari tembok yang tinggi dan kokoh.

Patut disyukuri bahwa masih ada lembaga pendidikan seperti Bintang Timur yang masih mengizinkan anak-anak kompleks bermain bebas di halaman dan lapangan sekolah. Semoga tetap menjadi tempat nyaman untuk bocah-bocah menabur kenangan.

Penulis: Opin Sanjaya

Editor: Eldis Ame

0 Komentar