Hari ini aku sedang menunggu mama di halte. Mama tadi pergi membeli bahan kue. Di antara mobil-mobil yang lewat, kulihat seorang pria menyeberangi jalan menuju aku. Sesampainya di depanku, dia mengeluarkan jas putih, seperti jas dokter lalu duduk di sampingku.

Idelando.com-Aku Ana, dari Indonesia dan sekarang tinggal di Dipak. November kemarin, usiaku 21 tahun. Di usia ini kebanyakan orang termasuk teman-temanku sudah kuliah. Ada yang kuliahnya di daerah sendiri, ada juga yang kuliah di luar daerah. Tetapi aku berbeda, saat ini aku sedang bekerja dengan tim detektif swasta, yang satu tahun lalu dikenalkan ayahku.

Semalam, Veuster salah satu anggota tim kami mengatakan banyak kasus yang sedang terjadi saat ini, salah satunya adalah penculikan dan pembunuhan anak. Hal itu didengarnya dari berbagai mulut yang dia jumpai di pasar. Karena penasaran, aku pun mencoba mencari tahu dengan mendatangi perkumpulan wanita-wanita gosip di sudut pekarangan.

Hasil yang aku dengar, ada salah satu mantan dokter anak yang mengalami gangguan jiwa. Saat ini, orang itu masih dicari oleh pihak kepolisian dan pihak kesehatan, karena tak kunjung ditemukan. Hmm, aku rasa pihak kepolisian akan menemukan pembunuh itu, karena sampai saat ini tim kami belum dikabari untuk melakukan penyelidikan.

***

Hari ini aku sedang menunggu mama di halte. Mama tadi pergi membeli bahan kue. Di antara mobil-mobil yang lewat, kulihat seorang pria menyeberangi jalan menuju aku. Sesampainya di depanku, dia mengeluarkan jas putih, seperti jas dokter lalu duduk di sampingku.

Pria ini menggunakan kaca mata, sepatu, baju, dan celana bermerek mahal. Merasa diperhatikan, dia berbalik ke arahku. Dengan hati-hati, aku kembali berbalik ke depan dan mengambil headset dari saku jeket, menyambungkannya ke handphone, “Ada apa?” tanyaku. Dia lalu menghadap lagi ke depan, dari tadi dia memperhatikanku. “Jangan kasari anak kecil apalagi tega membunuhnya”. Tertegun aku lalu melihatnya kembali. Dia berbicara soal anak kecil dan dia saat ini memegang jas dokter.

Instingku mengatakan dia adalah pria gangguan jiwa yang sedang diincar polisi. Dia rapi, dan sangat berkelas. Tak terlihat seperti orang gangguan jiwa. Tetapi aku takut langsung menyimpulkan bahwa sosok di sebelahku adalah psikopat yang sedang diincar.

“Siapa namamu?” tanyaku. “Banyak orang tua yang salah mendidik anak”. Dia masih tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah memberikan jawaban yang membuatku bertanya-tanya. setelah dia mengatakan hal tersebut, dia kembali berjalan ke arah bising di depan sana. Saat aku sedang memperhatikannya, tiba-tiba aku terkejut karena bahuku disentuh seseorang yang ternyata adalah mama. Tepat saat itu, bus ke arah rumah datang.

***

Sampai di rumah aku semakin penasaran dengan identitas sang dokter. Banyak yang ingin kuselidiki. Entah kenapa, sejak perjumpaan dan perkataan yang keluar dari mulutnya saat itu, aku sangat penasaran hingga saat ini.

Hari ini genap hari keempat aku mencari identitasnya, tapi belum aku temukan. Akhirnya aku memutuskan menunggu pria itu di halte. Mungkin, aku bisa berjumpa dengannya lagi. Kasus ini sudah aku beri tahu kepada ayah dan teman-teman detektif lainnya hanya saja belum diberi tahu kepada pihak kepolisian.

Ekor mataku menangkap siluet dari sudut tempat aku duduk. Aku tetap diam, Saat aku merasakaan siluet itu semakin dekat, aku sontak berdiri dan berbalik ke sosok itu. Dia dokter itu, melihatku meninggalkan jejak berupa name tag di kursi lalu dengan cepat berdiri sejauh mungkin dariku. Aku mengambil name tag tadi dan mulai melihatnya.

Di name tag itu tertera fotonya, ia bernama Damean, umur 28 tahun, sudah menikah dan memiliki satu anak, saat ini bekerja di salah satu rumah sakit ternama bernama Rosera sebagai dokter anak.

Buru-buru aku melihat ke arahnya. Dia tersenyum, tetapi senyum itu seperti menyimpan jutaan beban. Dengan baik dia duduk, posisinya seperti saat pertama kali kami berjumpa, hanya saja saat ini dia memakai pakaian yang berbeda namun tetap berkelas.

Untuk kedua kalinya saat kami berjumpa, tidak ada orang yang datang bergabung duduk di halte. “Banyak anak-anak yang dididik salah oleh orang tuanya, mereka yang sebenarnya masih butuh bermain, malah dicerca dengan segala pekerjaan berat, diajari yang tidak pantas seperti mengeluarkan kata-kata tak baik, dan segala hal yang salah”. Aku diam dan masih mau menyimak pembicaraannya.”Aku adalah salah satu dari orang tua-orang tua itu, karena kelalaianku, aku kehilangannya”.

Aku masih belum mengerti. Mungkin saja dia sudah membunuh anaknya dengan bertindak kasar. Lalu bagaimana dengan anak-anak lain yang sudah meninggal, apakah ia pembunuh berantai. Dia berbalik ke arahku, tersenyum lalu berdiri meninggalkanku.

***

Beberapa menit kemudian, aku dikejutkan dengan tepukan di bahuku. Seorang ibu paruh baya tersenyum, lalu duduk di sampingku. “Halo anak baik” sapanya. Aku hanya tersenyum “Sebenarnya aku mau menyapamu kala itu, saat pertama kali kau berjumpa dengan Damean. Tetapi tidak sempat”. Ibu ini mengenal Damean. “Mungkin kau sudah mendengar berbagai cerita tentang Damean, dan yah kau bingung akan siapa aku”.

Sore itu, aku mengenal satu orang lagi, dia adalah mertua Damean. Damean mengalami depresi berat karena istri dan anaknya yang meninggal karena kecelakaan. Dari ibu tersebut pula, aku tahu bahwa Damean sejak saat itu tidak suka melihat anak kecil.

***

Intuisiku sebagai detektif terasa semakin besar. Genap tiga minggu sejak berjumpa dengan Damean dan mertuanya. Sejak hari itu pula, aku belum berbicara dengannya lantaran pekerjaanku sekarang adalah berkunjung ke Rumah Sakit Rosera. Setiap hari aku selalu datang ke tempat pemeriksaan anak. Meskipun banyak orang tidak menginginkan kehadiranku di sana.

Setelah sekian lama aku selidiki, Dokter Damean ternyata tidak lagi diizinkan memeriksa hingga memberi obat pada anak. Dia datang hanya duduk termenung. Anak-anak yang melewatinya selalu menangis, jangankan menyentuh, saat dia tersenyum saja anak-anak sudah menangis.

Semua orang yang bekerja di rumah sakit ini sudah mengetahui bahwa Damean-lah yang membunuh anak dan istrinya, tetapi polisi entah kenapa belum menangkapnya. Barangkali hal ini disebabkan kondisi kesehatan jiwa Damean. Sebenarnya hal ini tidak boleh dibiarkan karena jika tidak, akan banyak korban jiwa. 

Damean duduk di bangku paling ujung, kembali merenung. Aku menghampiri seorang anak. Anak itu mengatakan bahwa Damean mengajarinya cara bermain pisau. Aku tentu saja terkejut. Saat aku ingin bertanya kelanjutannya, aku tidak sengaja melihat ke ujung jembatan. Di sana mertua Damean melambaikan tangannya ke arahku. Karena merasa canggung, aku mendekatinya sambil pelan-pelan melirik ke arah Damean.

Laki-laki itu sudah berdiri, namun sepintas kulihat dia tersenyum misterius pada si anak. Aku tidak bisa membiarkan ini. Aku harus segera memberhentikan semua ini dan kurasa saatnya tim detektifku bertindak. Saat itu, aku dan ibu mertua—yang baru kutahu namanya Darta, minum di kantin rumah sakit sambil menceritakan banyak hal. Aku tidak mau membicarakan kejadian tadi kepadanya, mengingat usianya yang sudah cukup tua.

***

Kami tetap mencari tau tentang Damean. Tetapi anehnya, setiap kali kami mengasah informasi, tidak ada satu informasi yang mengatakan bahwa istri dan anak Damean meninggal karena kecelakaan juga karena sakit. Aku  bingung antara memercayai cerita Darta atau mencoba kembali menyelidiki kasus Damean. Satu-satunya jawaban adalah Damean dan Darta sendiri, dan jalan terbaik adalah menyelidiki langsung rumah mereka.

Aku diam-diam membawa polisi dan tim detektifku ke rumah mereka. Setelah sekian lama mencari informasi, aku mendapati bahwa mereka tinggal di kompleks yang sama. Sesampainya di sana, aku melihat mereka sedang bersitegang di depan pintu rumah. Kalau aku menjadi Darta, aku tidak akan mampu tinggal bersama Damean.

“Ana ayo dekati mereka”. Perintah ayahku. Mereka langsung heran melihatku. Darta dengaan cepat merespon dengan senyuman, tapi kali ini senyumannya terkesan menyeramkan. Saat aku mau mendekati mereka kudengar suara-suara di belakang sana, mereka polisi. Kenapa mereka langsung datang ke sini tanpa tahu fakta dan intruksi yang sebenarnya? “Saudari Ana, 21 tahun bekerja sebagai detektif. Anda terbukti sebagai pembunuh berantai selama 4 tahun belakangan”. Ujar polisi sambil memegang pistol yang ditujukan ke arahku. Aku begitu kaget, pun semua timku terkejut termasuk ayah.

Saat mereka ingin menyanggah, aku menahannya. “Apa yang membuat kalian menuduhku?” dengan lugas semua foto dan bukti diletakan di depanku. Kulihat banyak barang tajam yang terletak tidak asing di depanku disertai foto-foto bukti kekerasan dari seorang perempuan di mana perempuan itu tidak lain adalah aku. Aku dengar banyak suara kaget di sekitarku. Lalu dengan sigap Damean muncul di depanku. “Aku harap kau tidak lupa”. Aku masih terkejut. Apa yang terjadi sebenarnya? Damean lalu melihat ke arahku, aku melihat ke bola matanya. Dia lalu bersuara lagi “jangan kasari anak kecil, apalagi tega membunuhnya” “Banyak orang tua yang salah mendidik anaknya”.

Seperti pisau yang menyayat hati, aku lalu teringat pada malam- malam yang pernah kulalui. Aku membenci melihat anak yang dimarahi orang tuanya, sehingga untuk membantunya, aku belajar menggunakan pisau dengan membunuh mereka. Kejadian demi kejadian terus bergulir. Aku ingat banyak anak bahkan orang tua—ibu yang menjadi korban pembunuhan.

***

Lalu polisi membawa satu dokter yang mengatakan bahwa aku adalah sosok yang dicari selama ini, sosok bipolar, psikopat yang suka mencapai kepuasannya di malam hari dengan membunuh anak. Segala kejadian terus bergulir, aku tersenyum mengejek, dan entah mengapa aku ingin menertawakan anak-anak bernasib malang, termasuk anak Damean.

Aku baru ingat, Damean mengalami depresi berat akibat ulahku, perbedaan cerita antara dia dan mertuanya lantaran aku yang lihai menyembunyikan identitas dan cerita. Mereka bersitegang hari ini karena Darta masih belum mempercayai bahwa sosok yang menemani dirinya selama ini adalah sosok yang ingin dimusnahkannya.

Aku tertawa dengan sendirinya, ternyata orang yang mengalami depresi seperti Damean masih mampu mengingat kejadian sebenarnya. Aku merasa puas akan apa yang sudah aku capai. Aku melihat ayah dan timku, mereka seperti tidak percaya akan apa yang aku lakukan. Aku muak, mereka mencari data tentang kejahatan, tetapi mereka tidak mampu melihat penjahat sebenarnya ada di dekat mereka.

Darta mendekatiku, aku ingin tertawa melihat muka tuanya, semua orang sempat mencurigainya, bahkan rela datang ke rumah ini. “Mengapa kau melakukan ini?” tanyanya. Aku tidak suka melihat tatapan sendu itu. Dengan tegas aku menjawab sambil tersenyum—tapi aku yakin senyumku terkesan menyeramkan seperti penjahat saat ini.

“Aku rasa, tidak ada salahnya berbuat begitu, aku hanya ingin meringankan beban. Banyak anak-anak yang rewel meminta ini dan itu, tetapi tidak diiakan oleh orang tuanya. Aku lihat banyak orang tua yang pusing akan itu. Dan yah, akhirnya aku membunuh mereka agar orang tuanya tidak pusing. Ah dan satu lagi, banyak orang tua yang begitu kasar terhadap anaknya, sehingga supaya mereka puas, aku membunuh anak-anaknya. Tetapi aku pun tidak suka melihat orang tua seperti mereka mengasari orang lain. Agar tidak ada lagi orang tua seperti mereka, aku membunuh mereka. Itu saja”.

Setelah pengakuan itu, aku merasa puas. Aku puas melihat raut-raut kaget, kecewa, dan kehilangan dalam waktu bersamaan. Aku tersenyum, lalu dengan sadar tertawa sepuas mungkin. Aku masih tertawa saat tanganku diborgol. Saat aku dibalik dengan paksa oleh polisi, kulihat di depan sana mobil patroli sedang menantiku.


Penulis : Sindi Janggu
Editor   : Taty Hartanti
Ilustrasi: Rudi Herwanto

1 Komentar

Anonim mengatakan…
The bestttttt, likee it 💙💙💘sindi dkk smngat Trus